Ibrahim diciduk Polisi, Isma'il diamankan

oleh : Emha Ainun Nadjib dari buku "Markesot Bertutur"

Seorang teman Markesot bernama Mat Sudi menggerundel terus sepulang dari shalat Idul Adha di lapangan.

"Kamu kok ngedumel terus!" kata Markesot sebel, "Nanti jadi batal sembahyangmu!"

"Lho, ketika sembahyang saya ndak ngedumel kok."

"Ya tapi kalau sekarang mbesot-mbesot begitu, keabsahan shalatmu bisa berkurang!"

"Biarin! "

"Biarin gimana? Gila kamu!"

"Saya nurut saja sama Tuhan. Kalau memang angka nilai sembahyang saya dikurangi oleh Tuhan, ya saya ikhlas saja. Seandainya dianggap batal ya saya nurut saja. Bahkan kalau semua itu oleh Tuhan dianggap dosa dan itu membuat Tuhan memasukkan saya ke dalam neraka, ya saya nurut saja kok."




Markesot geleng-geleng kepala, "Ah! Sok kamu!"

"Lho, sok gimana?"

"Kamu berlagak kayak Rabi’ah Al-Adawiyah. Minta supaya tubuhnya dibikin sebesar raksasa bengkak sehingga bisa memenuhi seluruh ruang yang tersedia di neraka."

"Ini kan Hari Raya Qurban."

"Lho ya? Bukan Hari Raya Ngomel!"

"Saya ngomel kan ada alasannya!"

"Ah sok!" Markesot terus mengecam.

"Saya sudah mantap-mantap pergi sembahyang Id. Hati bergetar mendengarkan gema takbir. Seluruh alam, bumi dan langit, ikut bertakbir. Tapi khutbahnya kayak gitu. Sebel!"

"Kenapa khutbahnya?"

"Pertama, kurang teatral, kurang puitis, kurang indah. Tidak menggetarkan jiwa, karena mungkin emang tidak berangkat dari jiwa yang bergetar…."

"Jangan sok menyimpulkan. Kalau terlalu salah, nilainya sama dengan fitnah Iho!"

"Terserah kamu," jawab Mat Sudi, "Saya hanya melontarkan sejujur-jujurnya apa yang saya rasakan dan saya pikirkan."

"Jujur saja tidak cukup. Harus juga benar!"

"Khutbahnya tak ada hubungannya dengan masalah konkret kita semua!"

"Lho,’kan khatibnya tadi berbicara soal Tinggal Landas?"

"Justru itu. Dia memberi gambaran yang menyesatkan tentang Tinggal Landas!"

"Maksudmu?"

"Seolah-olah kita semua ini sedang menyongsong hari Tinggal Landas dimana kita semua akan menjadi makmur sejahtera semua!"

"Ya betul tho?"

"Kamu jangan sok bloon, Sot!" Mat Sudi mengecam, "Namanya saja Tinggal Landas. Itu maksudnya Pemerintah sekarang sedang mempersiapkan infrastruktur supaya pada saat nanti kita siap betul berangkat menjadi suatu Masyarakat Industri."

"Betul. Apa yang salah dari khutbah itu?"

"Pilihan industrialisasi itu sendiri ‘kan relatif jaminannya. Industrialisasi bukan Ratu Adil atau Imam Mahdi atau Messiah. Kalau kita sudah jadi negara industri tidak berarti bahwa segalanya akan beres. Tak berarti kita akan terbebas dari kemiskinan, kebodohan, atau kekejaman kekuasaan. Industri hanyalah sebuah cara di antara kemungkinan cara-cara lain yang dianggap bisa membantu menyejahterakan masyarakat. Tapi pada taraf ide saja industrialisasi tak bisa dijamin. Dalam masyarakat industri modern justru banyak kehancuran terutama di bidang mental, iman, bahkan juga mulai tampak kehancuran kebudayaan dan peradaban!"

"Ya, lantas?"

"Khatibnya tadi bukannya memperingatkan kita soal efek samping yang negatif dari proses industrialisasi. Tapi malah ngiming-ngiming seolah-olah dengan Tinggal Landas itu berarti kita sudah akan menyongsong kesejahteraan dan kebahagiaan yang sempurna. Itu pun yang dimaksudkan hanya dimensi kebendaan. Bukankah itu mblasukno?"

"Ya sabar dong!" kata Markesot, "Apa dalam khutbah Id khatibnya harus berceramah ilmiah seperti dalam seminar-seminar di kampus?"

"Ya tidak. Tapi kan seharusnya diterangkan sesuai dengan bahasa dan tingkat pemahaman jamaah. Apa gunanya jadi kiai yang pandai kalau tidak bisa menyesuaikan bahasa komunikasinya dengan kondisi umat. Dan lagi, apakah kamu menuduh bahwa jamaah shalat Id tadi itu orangnya bodoh-bodoh? Tidak bisa mengerti hal-hal yang ilmiah?"

"Bukan, bukan soal bodoh atau pintar. Tapi bahasa mereka lain dengan bahasa kaum cerdik cendekia. "Para malaikat pasti mencatat semua itu dengan rinci, dan Allah adalah Hakim Mahaagung yang pasti menilai khutbah itu dengan penuh keadilan. Allah mencintai umatnya. Allah membela kepentingan umatnya. Allah senantiasa mendengarkan suara hati nurani umatnya…."

Mat Sudi terus ngedumel sepanjang jalan pulang. Markesot makin jengkel tapi dia sabar-sabarkan.

Salah bapaknya dulu sih. Nama kok Muhammad Sudi. Jadinya dia terlalu sudi kepada apa saja yang dihadapinya. Sebaiknya nama anak itu jangan hanya Muhammad Sudi, tapi harus ditambah Achmad Peduli. Di kampung tertentu pasti dia dijuluki Dul Nyinyir atau Bambang Siud. Masih untung tidak dipanggil Djoko Mbegedut.

Sampai di rumah, Mat Sudi makin bersungut-sungut. Rupanya dia tidak memperoleh kiriman daging kerbau. Temannya yang dulu biasa kasih, sekarang tugas di luar Jawa, jadi Mat Sudi ndak bisa ikut menikmati daging. Salahnya sendiri jadi orang miskin kok malu- malu. Seharusnya dia ikut antre di halaman masjid sambil bawa godhong jati sendiri.

Siangnya, ketika Dul Sudi tidur ngorok karena frustrasi, tak sengaja Markesot menemukan kertas dengan tulisan seperti teks khutbah Idul Adha.

Astaghfirullah. Eh, alhamdulillah. Rupanya diam-diam Mat Sudi bikin persiapan khutbah, meskipun tak bakalan ada pengurus masjid yang memintanya berkhutbah. Memangnya ada takmir gila yang ngundang Mat Sudi nyerocos di podium? Orang dia bukan ulama, bukan dokter, bukan doktorandus, bukan BA atau B.Sc!

Tapi ternyata menarik juga isi khutbah fiktifnya Mat Sudi.
Judulnya "Ibrahim Ditangkap Polisi, Ismail Diamankan".
Dia membayangkan Nabi Ibrahim di kehidupan abad 20. Di zaman Orde Baru ini, Haji harus sadar hukum.
"Jangan hanya mabrur, tapi jadilah juga Jidarkum!" kata Amirul Hajj Ismail Saleh.

Nabi pun harus merupakan seorang Bidarkum ‘Nabi Sadar Hukum’. Maka tatkala pihak yang berwajib mendengar bahwa Ibrahim akan menyembelih Ismail - meskipun itu anaknya sendiri dan meskipun itu perintah Allah - segera Polisi menciduk Ibrahim dan mengamankan Ismail.

Gila dong. Masa Bapak mau bunuh anaknya. Meskipun anaknya rela, itu tetap perbuatan melanggar hukum. Kalau ndak percaya, silakan rencanakan seperti yang Ibrahim lakukan!

Bilanglah bahwa rencana Anda menyembelih anak Anda itu berdasarkan perintah Allah. Siapa yang bisa menjamin bahwa itu perintah Allah? Apakah para aparat bisa percaya? Apakah mereka boleh percaya? Apa ada kerangka pemahaman yang bisa membuat negara ini meyakini bahwa itu perintah Allah?

Maka Ibrahim memang harus ditangkap. Ismail harus diselamatkan. Nanti dilelang di Rumah Yatim yang mau menampungnya.


"Keyakinan akan firman Allah membutuhkan proses kondisioning iman. Memerlukan cuaca ketaatan kepada Allah di segala bidang. Sedemikian rupa sehingga kita dekat sekali dengan segala kehendak Tuhan. Itulah yang tak ada di negeri kita…" kata Mat Sudi di akhir khutbahnya.

Markesot manggut-manggut. Kalau tidak takut disangka homo, gemblakan atau mairilan, ingin Markesot menciumi temannya itu karena kagum.

Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA