Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA



Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama besar di dunia – Islam, Yahudi, dan Kristen -.  Karena latar belakang sejarah yang panjang, ratusan atau mungkin ribuan tahun, kota ini memiliki beberapa nama Jerusalem, al-Quds, Yerushaláyim, Aelia (Umar bin Khattab menyebut dengan nama ini dalam surat perjanjiannya), dll. Semua nama tersebut mencirikan karakter dan warisan yang beragam. Kota ini juga merupakan tempat tinggal beberapa nabi, seperti: dari Nabi Sulaiman dan Nabi Daud hingga Nabi Isa ‘alaihimussalam.

Di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun pernah menginjakkan kaki di tanah para nabi ini. Dalam suatu perjalanan dari Mekah menuju Yerusalem, kemudian dari Yerusalem menuju Sidratul Muntaha, perjalanan ini kita kenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Namun demikian, Yerusalem tidak pernah menjadi bagian dari negeri Islam di masa hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, negeri penuh berkah tersebut baru masuk menjadi wilayah Islam pada masa Umar ibn Khattab.


Kekaisaran Bizantium membuat sebuah relasi yang jelas dengan umat Islam di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak menginginkan agama yang baru saja berkembang di selatan kekaisaran mereka ini masuk dan berkembang di teritorial Bizantium. Ketegangan dimulai pada Oktober 630 M, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 30.000 pasukannya menuju Tabuk, daerah perbatasan Kekaisaran Bizantium. Walaupun kontak fisik gagal terjadi, namun ekspedisi Rasulullah untuk menyambut serangan Bizantium di Tabuk menunjukkan era baru hubungan Madinah dan Bizantium.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M), tidak terjadi kontak dengan wilayah kekuasaan Bizantium. Barulah pada masa Umar bin Khattab, Madinah mulai serius mengekspansi ke wilayah Utara menuju area kekuasaan Bizantium. Umar mengirim pasukan yang terdiri dari jawara-jawara Arab seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash menuju Kekaisaran Romawi Timur ini. Perang ini dikenal dengan perang Yarmuk, perang yang terjadi tahun 636 M. Perang ini merupakan pukulan telak bagi Bizantium, sejumlah kota di Suriah berhasil jatuh ke tangan umat Islam, termasuk kota utama Damaskus.
Walaupun diawali dengan peperangan, namun kedatangan umat Islam ke daerah tersebut disambut dengan baik oleh penduduk lokal, baik Yahudi atau Kristen, termasuk aliran yang ortodok yang meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan bukan hanya anak Tuhan. Mereka semua menyabut kehadiran dan era kepemimpinan Islam di wilayah mereka walaupun banyak perbedaan secara teologi.

Memasuki Jerusalem
Tapi, penaklukan kota tua ini diawali dengan perjalanan perang jihad yang panjang. Khalifah Umar memerintahkan Amr Ibn Al Ash dan Syarhabil Ibn Hasanah untuk menguasai Yerusalem. Kejadian ini terjadi pada tahun 635 M. Amr dan Syarhabil akan menuju  Yerusalem dengan membawa pasukan. Tapi, itu bukan jalan mudah. Pasalnya, mereka mesti menaklukkan terlebih dahulu beberapa daerah untuk bisa masuk ke Yerusalem. Pasukan pun melangkah lewat area pegunungan subur dan penuh pepohonan di Golan (Jaulan). Di sini, pasukan muslim akan melewati Galileia yang ada di utara Palestina. Sama seperti Golan, wilayah ini juga sangat subur. Kaum Yahudi dan Nasrani memiliki memori sejarah penting di kota ini. Dan, peperangan kecil terjadi. Pasukan yang dipimpin Amr dan Syarhabil berhasil memenangkan pertempuran dengan pasukan Byzantium yang kala itu berkuasa. Kota-kota sepanjang Galileia mampu ditaklukkan pasukan muslim, dan penduduknya diberikan jaminan keamanan dan kepemilikan.

Rupanya strategi Umar untuk menaklukkan Yerusalem sangat cerdas. Kota ini bakal dikuasai dengan jalan pengepungan. Di lain sisi Palestina, Yazid Ibn Abi Sufyan dan Muawiyah ternyata juga diutus untuk membantu menaklukkan Yerusalem. Muawiyah membawa pasukan untuk menaklukkan wilayah utara Palestina lainnya. Akhirnya Beirut, Tripoli, Sidon, Byblos, dan Latakia berhasil dikuasai. Sementara itu, Yazid menaklukkan daerah di Palestina sebelah selatan. Daerah yang berhasil dikuasai Yazid dan pasukan muslim adalah Sidon, Tyre, Acre, hingga Haifa. Usai menaklukkan Haifa, Yazid dan pasukannya bergabung dengan Amr. Dua kekuatan militer ini lantas berjalan menuju Yerusalem. 

Pangeran Konstantin II, penguasa wilayah Caesarea yang ada barat Palestina, merasa gelisah dengan pergerakan pasukan Islam ke Yerusalem. Dari kota bandar yang ada di pesisir Levantina ini, Pangeran Konstantin II meminta bantuan pasukan Byzantium dari Siprus dan Konstantinopel. Padahal, kala itu, pertahanan Caesaria cukup kuat sebagai daerah kekuasaan Byzantium. Lalu, terbentuklah pasukan Byzantium di bawah komando Artavon yang harus menghadang pasukan Islam yang harus melewati daerah Caesarea untuk bisa sampai ke Yerusalem.

Tak ayal lagi, pasukan Amr dan Yazid bertemu pasukan Artavon dari Caesarea. Perang hebat pun terjadi di daerah Ajnadin. Atas izin Allah, pasukan Islam menang. Artavon lalu melarikan diri ke Yerusalem. Dari kemenangan inilah rencana penaklukan Yerusalem jadi semakin mudah. Khalifah Umar segera memerintahkan penambahan pasukan untuk mendukung Amr. Pasukan yang dipimpin Ubaidah, Khalid, dan Mu’awiyah diminta untuk membantu setelah sebelumnya menaklukkan Suriah dan pesisir Levantina. Dan, pasukan Islam pun mengepung sepanjang kota selama musim dingin.

Rasa gentar dihadapi oleh Artavon dan Patriarch Sophronius. Patriarch adalah uskup agung gereja Yerusalem. Mereka beradu mulut. Artavon tidak ingin bila Yerusalem diserahkan pada pasukan Islam. Di lain sisi, Patriarch menginginkan Yerusalem diserahkan pada pasukan Islan dengan damai. Dia yakin kedatangan pasukan Islam sebagai bentuk kehendak Tuhan. Perdebatan itu disaksikan oleh orang-orang di dalam gereja yang letaknya dalam benteng. Dan, orang-orang ini menyetujui ide Patriarch.

Pada tahun 637 M, lantas dikirimlah utusan gereja menemui pasukan Islam. Utusan ini menyampaikan bahwa Yerusalem akan diserahkan dengan beberapa syarat. Yaitu, penyerahan kota tidak dilakukan dengan jalan peperangan, pasukan Byzantium dibiarkan untuk menuju Mesir, dan Khalifah Umar diminta datang ke Yerusalem untuk serah-terima “kunci kota”.  Abu Ubaidah yang menerima utusan gereja itu menyanggupi permintaan yang ada.

Setelah kabar gembira ini disampaikan ke Umar, beliau pun segera menuju Yerusalem. Masyarakat kota ini bahkan menyiapkan arakan untuk menyambut Umar yang bagi mereka cukup disanjung sikap adilnya. Tapi, arakan ini mendadak hilang. Pasalnya, orang-orang di Yerusalem hanya melihat dua orang dan seekor unta. Salah satunya naik ke punggung unta. Sungguh, tidak tampak seperti kedatangan penguasa di zaman sekarang ini yang penuh dengan penyambutan mewah.
Penduduk kota menyangka Umar lah yang naik di punggung unta. Justru sebaliknya, yang di punggung unta adalah pengawal Umar. Ternyata mereka bergantian naik unta selama dalam perjalanan. Umar tidak egois membiarkan pengawalnya kelelahan. Kejadian ini menambah kagum penduduk Yerusalem terhadap pemimpin barunya.. Apalagi, Umar hanya memakai pakaian lusuh, bekal makanan seadanya, dan satu tikar untuk sholat. Sesampainya di kota, Umar disambut Uskup Patriarch. Umar diajak ke beberapa tempat suci di kota. Uskup membukakan Gereja Makam Suci kala waktu dhuhur tiba. Maksudnya, Umar dipersilakan shalat dulu di gereja itu. Namun, hal tersebut ditolak Umar.
“Jika saya melaksanakan shalat di gereja ini, saya khawatir para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini dimasa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah shalat di dalamnya. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya Gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat diluar,” ucap Umar yang tetap menghormati pemeluk agama lain dalam wilayah perlindungan Islam.

Ketika Umar meminta diantar ke bekas Kuil Sulaiman, dia mendapati reruntuhan itu tidak terawat. Ada banyak kotoran dan timbunan sampah. Umar dan shahabat lainnya membersihkan tempat itu dan menjadikannya tempat shalat. Ke depannya, di tempat ini berdiri sebuah masjid atas perintah Umar. Masjid itu dinamai dengan Masjid Umar.



Perjanjian Umar bin Khattab
Sebagaimana kebiasaan umat Islam ketika menaklukkan suatu daerah, mereka membuat perjanjian tertulis dengan penduduk setempat yang mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Jerusalem dan penduduk non-Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam. Teks perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipaksa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem. (Kalimat terakhir ini adalah permintaan penduduk Jerusalem, karena penduduk Jerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Jerusalem).

Penduduk Jerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok. Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka. Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Jerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.

Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh at-Thabari).
Pada waktu itu, apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah langkah yang benar-benar maju dalam masalah pakta (perjanjian). Sebagai perbandingan, 23 tahun sebelum Jerusalem ditaklukkan umat Islam, wilayah Bizantium ini pernah ditaklukkan oleh Persia saat itu Persia memerintahkan melakukan pembantaian terhadap masayarakat sipil Jerusalem. Kejadian serupa terjadi ketika Jerusalem yang dikuasai umat Islam ditaklukkan pasukan salib pada tahun 1099 M.

Perjanjian yang dilakukan oleh Umar membebaskan penduduk Jerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan mereka adalah pakta pertama dan sangat berpengaruh dalam hal menjamin kebebasan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan. Meskipun ada klausul dalam perjanjian yang mengusir Yahudi dari Jerusalem, klausul ini masih diperdebatkan (keshahihannya). Karena salah seorang pemandu Umar di Jerusalem adalah seorang Yahudi yang bernama Kaab al-Ahbar, Umar juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk beribadah di reruntuhan Kuil Sulaiman dan Tembok Ratapan, padahal sebelumnya Bizantium melarang orang-orang Yahudi melakukan ritual tersebut. Oleh karena itulah, klausul yang melarang orang Yahudi ini masih diperdebatkan.
Perjanjian tersebut menjadi acuan dalam hubungan umat Islam dan Kristren di seluruh bekas wilayah Bizantium. Orang-orang Kristen di wilayah Bizantium akan dilindungi hak-hak mereka dalam segala kondisi dan orang-orang yang memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi Islam atau selainnya akan dikenakan sangsi.

Setelah Jerusalem dikuasai oleh umat Islam, Khalifah Umar bin Khattab segera menata kembali kota suci ini dan menjadikannya kota penting bagi umat Islam. Umar memerintahkan agar area Kuil Sulaiman –area tempat Nabi berangkat menuju sidratul muntaha- dibersihkan dari sampah-sampah yang dibuang orang-orang Kristen untuk menghina orang Yahudi. Bersama para tentaranya dan dibantu beberapa orang Yahudi, Umar membersihkan wilayah tersebut kemudian merenovasi komplek Masjid al-Aqsha.

Selanjutnya, di masa pemerintahan Umar dan masa kekhalifahan Bani Umayyah Jerusalem menjadi kota pusat ziarah keagamaan dan perdagangan. Pada tahun 691 M, Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) dibangun di komplek tersebut untuk melengkapi pembangunan al-haram asy-syarif. Lalu menyusul dibangun masjid-masjid lainnya dan institusi-instusi publik di penjuru kota suci ini.
Penaklukkan Jerusalem pada masa pemerintahan Umar bin Khattab di tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini terus menjadi daerah kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk agama dan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta yang dibuat Umar ketika menaklukkan kota tersebut. Bahkan pada tahun 2012, ketika konflik Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi, dan Kristen menuntut diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat poin-poin perdamaian yang merujuk pada pakta itu untuk sebagai solusi konflik antara umat bergama di sana.

***
Membandingkan apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab selaku Khalifah Islam saat itu dengan apa yang terjadi sekarang di Indonesia menunjukkan betapa sempitnya pemahaman dan keikhlasan hati sebagian ummat Islam di Indonesia sekarang ini tentang arti toleransi yang sesungguhnya.  Bangsa Indonesia yang sering mengaku sebagai bangsa yang ramah dan toleran nyatanya toh seperti hamparan minyak dan tumpukan jerami kering yang akan terbakar dengan mudah saat terpercik api.  

Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda
Toleransi berasal dari bahasa Latin; tolerare artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya. Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Kamus KBBI memberi arti toleransi sebagai kata: toleran/to·le·ran/ a bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sifat tidak toleran kelompok-kelompok yang memiliki bibit menjadi radikal ini pada akhirnya mengkristal menjadi faham takfiri yang sangat mudah mengkafirkan orang lain dengan menarik batas yang sangat tegas yaitu kelompok saya atau bukan, hitam dan putih, surga dan neraka, kawan dan lawan, Islam dan kafir.

Jangankan terhadap orang lain yang beragama non-Islam, yang oleh Al Qur'an pun dihormati dengan disebut sebagai ahlul kitab, bahkan terhadap sesama ummat Islam pun asalkan berbeda pendapat dengan mereka, maka dengan mudah mereka menuduhnya sebagai sesat, syi'ah bahkan kafir dan halal ditumpahkan darahnya.
 
Mereka seakan tidak pernah tahu bahwa Imam Ali Al Asy’ari selaku panutan kaum ahlussunnah wal jama’ah menyampaikan sebagai berikut:

 ويقرون بأن الايمان قول وعمل يزيد وينقص ولا يشهدون على احد من اهل الكبائر بالنار ولا يحكمون بالجنة لأحد من الموحدين حتى يكون الله سبحانه ينـزلهم حيث شاء ويقولون امرهم الى الله ان شاء عذبهم وان شاء غفر لهم

“Ahlus Sunnah menegaskan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan; bisa bertambah dan berkurang. Ahlus Sunnah tidak bersaksi bahwa setiap pendosa besar akan masuk neraka, sebagaimana mereka tidak menghakimi bahwa setiap orang yang bertauhid akan masuk surga, sampai Allah sendiri yang menentukan sesuai kehendak-Nya. Ahlus Sunnah menyatakan bahwa perkara (surga/neraka) orang-orang itu ialah diserahkan pada Allah. Jika Dia menghendaki, Dia mengazab mereka. Jika Dia menghendaki, Dia mengampuni mereka.”
— Mahaguru Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, Abu al-Hasan ‘Ali al-Asy’ari (874-936 M), dalam “Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin” (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1969), Juz I, h. 350.

Disampaikan juga oleh Imam Ghazali :

والذي ينبغي الاحتراز منه التكفير, ما وجد إليه سبيلا، فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة المصرحين بقول “لا إله إلا الله محمد رسول الله” خطأٌ، والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك دم لمسلم

“Selama masih ada celah, hendaklah seseorang menghindari vonis kafir (takfir). Penghalalan darah dan harta terhadap seseorang yang salat menghadap kiblat, yang masih menyatakan (syahadat) “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah”, ialah kesalahan. Dan ‘kesalahan’ dalam membiarkan seribu kafir hidup itu lebih ringan daripada kesalahan dalam menumpahkan darah seorang Muslim.”
— Ulama besar Ahlus-Sunnah, Hujjatul-Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M), dalam “Al-Iqtishad fil-I’tiqad” (Damaskus: Dar Qutaibah, 2003), h. 176

Pendapat dua Mahaguru Ahlussunah wal jama’ah tadi diperjelas oleh Ulama-ulama lain sbb:

ولقد قرر علماؤنا أن الكلمة إذا احتملت الكفر من تسعة وتسعين وجها ثم احتملت الإيـمان من وجه واحد حملت على أحسن المحامل وهو الإيـمان
“Para ulama kita telah menegaskan bahwa jika suatu kalimat mengandung kemungkinan kafir dalam 99 segi, tapi ia masih mengandung kemungkinan iman dalam 1 segi, maka hendaklah kalimat itu dibawa kepada kemungkinan yang terbaik; yakni masih beriman.”
— Ulama al-Azhar, Syaikh ‘Abdul-‘Azhim az-Zarqani (w. 1948 M), dalam “Manahil al-‘Irfan”, Cet. al-Halabi, Juz II, h. 35
***
الكفر شيء عظيم فلا أجعل المؤمن كافرا متى وجدت رواية أنه لا يكفر وإذا كان في المسألة وجوه توجب الكفر ووجه واحد يمنعه فعلى المفتي أن يميل إلى الوجه الذي يمنع التكفـير
“Kafir adalah persoalan serius. Aku tidak akan mengkafirkan seorang Mukmin selagi ada riwayat yang menyatakan bahwa dia tidak kafir. Jika dalam suatu masalah ditemukan beberapa bagian yang mengharuskan jatuhnya vonis kafir, tapi masih ada satu bagian yang menahannya, maka seorang mufti harus merujuk ke bagian yang menahan jatuhnya vonis kafir itu.”
— Ulama fikih mazhab Hanafi, Ibnu ‘Abidin (1784-1836 M), dalam “Hasyiyah Radd al-Mukhtar” (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), Juz IV, h. 236

Dan masih banyak pendapat Ulama-ulama lain bahkan Ulama-ulama di Indonesia seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Maemun Zubair, Habib Luthfi bin Yahya, KH Mustofa Bisri dan kyai lain yang mendorong agar ummat Islam lebih moderat dan memahami toleransi dalam kehidupan sosial dan beragama di Indonesia sebagai negara yang ditetapkan oleh para pendahulu kita sebagai Darus Salam (negara yang damai) dan bukan sebagai Darul Islam (negara Islam).

Lantas mengapa berkembangnya radikalisme dalam Islam khususnya yang mulai menjangkiti ummat Islam di Indonesia terus berkembang?  Hal ini tidak lain disebabkan konflik kepentingan politik dimana ummat Islam itu berada dan menghilangnya pemahaman Islam moderat di Indonesia.  Keinginan untuk menjadi orang Islam yang kaffah ditunggangi oleh faham Wahabi.  Celakanya, orang Indonesia tidak mengerti bahwa faham Wahabi ini aslinya merupakan faham yang digunakan untuk memperkokoh kekuasaan keluarga kerajaan Saudi dari ancaman kelompok politik lain.  Jadi, oleh faham Wahabi, agama Islam digunakan hanya sebagai tameng dan tunggangan politik kekuasaan yang berkecimpung di dalamnya untuk menghilangkan pengaruh kekhalifahan Turki Utsmaniyah di jazirah Arab.  Sayangnya, justru hal itu yang tidak disadari oleh sebagian orang Indonesia yang sangat mudah terpesona dengan tampilan luar pembawa ajaran atau pendakwah yang berbau timur tengah sehingga tanpa disadari mereka terhanyut dalam pemahaman sempit Islam dan terjerumus mengikuti faham radikal Islam tanpa mengerti bahwa ajaran yang diterima merupakan bentuk penyimpangan yang secara esensial justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamiin.  

Kita seringkali lupa, bahkan khalifah Islam yang terkenal sangat keras dan jujur yaitu Umar bin Khattab ra. pun sangat mengutamakan toleransi bagi ummat lain yang berada di bawah kekuasaannya sebagaimana tergambarkan dalam kisah penaklukan Jerusalem.  Apakah kita berani mengklaim sebagai hamba Allah yang lebih benar dibandingkan Umar ibn Khattab ra.?


Referensi :
Dr. Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar Ibn Khattab, Zaman, 2007
Kuncahyono, T. (2008). Jerusalem Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir
Bakar, A. (2008). Berebut Tanah Suci Palestina

Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta