Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial
KH. Ahmad Mustofa Bisri
pernah mempopulerkan istilah saleh ritual dan saleh sosial. Yang pertama
merujuk pada ibadah yang dilakukan dalam konteks memenuhi haqqullah dan
hablum minallah seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya.
Sementara itu, istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam
aktivitas dalam rangka memenuhi haqul adami dan menjaga hablum minan
nas. Banyak yang saleh secara ritual, namun tidak saleh secara sosial;
begitupula sebaliknya.
Gus Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis
kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan keduanya. Bahkan
lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya juga ada aspek sosial.
Misalnya shalat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga
merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang
terbaik itu adalah kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak
dua-duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan,
bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun masih bisa untuk
menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan berarti tidak punya
kesalahan.
Pada saat yang sama, kita harus akui seringkali terjadi
dilema dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan
antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang kawan
mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan jadual. Saya
membantu prosesnya sehingga harus bolak balik dari satu meja ke meja
lainnya. Waktu maghrib hampir habis. Kawan yang ketiga, yang dari tadi
diam saja melihat kami kerepotan, kemudian marah-marah karena kami belum
menunaikan shalat maghrib. Bahkan ia mengancam, “Saya tidak akan mau
terbang kalau saya tidak shalat dulu”.
Saya tenangkan dia, bahwa sehabis check in nanti kita masih
bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in kawan kita
ini terhambat maka kita terpkasa meninggalkan dia di negeri asing ini
dengan segala kerumitannya. Lagipula, sebagai musafir kita diberi
rukhsah untuk menjamak shalat maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih
bisa shalat di atas pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima: baginya
urusan dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket kawan
yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal tiketnya dan pada saat
yang bersamaan saya harus adu dalil dengan kawan yang satu lagi.
Tiba-tiba di depan saya dilema antara kesalehan ritual dan kesalehan
sosial menjadi nyata.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini
dalam bukunya Fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat kewajiban yang
berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan
daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Beliau juga
menekankan untuk prioritas terhadap amalan yang langgeng (istiqamah)
daripada amalan yang banyak tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau
berpendapat:
“Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata
mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang
berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang ulama yang berkata,
"Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak
hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat." Oleh
sebab itu, ibadah haji misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang
yang hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah
kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini, dalam
kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial daripada
kesalehan ritual.
Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang
mendesak daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara
menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah yang
belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal waktunya. Atau
antara menolong orang yang mengalami kecelakaan dengan pergi mengerjakan
shalat Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang
kecelakaan dengan membawanya ke Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan,
mana yang kita utamakan: shalat di awal waktu atau melayani
Atau mana yang harus kita prioritaskan disaat keterbatasan
air dalam sebuah perjalanan: menggunakan air untuk memuaskan rasa haus
atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi
memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu atau debu. Begitu juga
kewajiban berpuasa maish bisa di-qadha atau dibayar dengan fidyah dalam
kondisi secara medis dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter
harus kita utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan
muqaddamun ‘ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan daripada
sehatnya agama.
Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di depan
pasukan Abrahah yang mengambil kambing dan untanya serta hendak
menyerang Ka’bah: “kembalikan ternakku, karena akulah pemiliknya.
Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang akan menjaganya!”
Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan daripada menjaga Ka’bah; atau
dalam kasus tiket di atas seolah urusan shalat ditunda gara-gara urusan
pesawat; atau keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa.
Inilah fiqh prioritas!
Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis:
“…kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan
oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai' yang menganjurkan
amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara
lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang
memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya
memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk
hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan
atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan
dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan
ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi
prioritas dalam agama ini.”
Dengan tegas beliau menyatakan:
“Saya sendiri memperhatikan --dengan amat menyayangkan--
bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk
lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya --Saya tidak berkata
mereka semuanya-- mereka begitu mementingkan hal tersebut dan
melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat
pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua orangtua,
silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja
yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya,
kasih-sayang terhadap makhluk Allah, apalagi terhadap yang lemah,
menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana
dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam
kitab-Nya, di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu'minun, akhir
surah al-Furqan, dan lain-lain.”
Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan
sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah mana yang
kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita
menjalankannya. Wa Allahu a’lam bi al-shawab
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Comments
Post a Comment