"Itulah akhlakmu, inilah akhlaq kami", Imam Ali Zainal Abidin

Ummat Islam pasti mengetahui tentang kejadian Karbala.  Pada kejadian tersebut, Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib atau cucu Rasulullah SAW dibunuh dalam pertempuran yang sangat tidak seimbang akibat fitnah dan kekacauan politik khalifah Islam saat itu yang dipimpin oleh Yazid bin Mu'awiyah.  Berbagai kisah cerita yang tersebar di kalangan ummat Islam pun berbeda-beda. Namun, yang patut dijadikan sebagai pelajaran adalah bahwa politik kekuasaan dapat mengaburkan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya kecuali pada hati orang-orang terpilih yang mewarisi sifat lemah lembut Rasulullah saw.



Beberapa waktu setelah tragedi Karbala, Yazid bin Muawiyah memerintahkan eksekusi terhadap beberapa orang jenderal sebab suatu masalah dalam pemerintahannya. Salah satu yang akan dieksekusi dan dijatuhi hukuman adalah seorang petugas yang juga terlibat dalam pembantaian di Karbala.

Karena merasa terancam keselamatannya, lelaki itu melarikan diri ke Madinah. Di sana, ia menyembunyikan identitasnya dan tinggal di kediaman Imam Ali Zainal Abidin bin Husein, anak dari Imam Husein bin Ali ra, cicit Rasulullah yang selamat dari pembantaian Karbala. Di rumah sosok yang dikenal sebagai ‘as-Sajjad’ (orang yang banyak bersujud) ini, lelaki itu betul-betul dijamu dengan baik selayaknya seorang tamu.

Ia disambut dengan sangat ramah dan disuguhi jamuan yang layak dalam tiga hari. Setelah tiga hari, lelaki pembantai dalam tragedi Karbala itu pamit untuk pergi.

As-Sajjad memenuhi kantong kuda lelaki itu dengan berbagai macam bekal, air, dan makanan.
Lelaki itu sudah duduk di atas pelana kudanya, namun ia tak kuasa beranjak. Ia termenung atas kebaikan sikap As-Sajjad. Ia merasa trenyuh karena sang tuan rumah tak mengenali siapa dia sebenarnya.

“Kenapa engkau tak beranjak?” tegur As-Sajjad.

Lelaki itu diam sejenak, lalu ia menyahut.
“Apakah engkau tidak mengenaliku, Tuan?”

Giliran As-Sajjad yang diam sejenak, kemudian ia berkata,
“Aku mengenalimu sejak kejadian di Karbala.”

Lelaki itu tercengang. Ia tergugu dan memberanikan diri bertanya,
“Kalau memang engkau sudah mengenaliku, mengapa kau masih mau menjamuku sedemikian ramah?”

As-Sajjad menjawab,
“Itu (pembantaian di Karbala) adalah akhlakmu. Sedangkan ini (keramahan) adalah akhlak kami. Itulah kalian, dan inilah kami.”

Kejahatan dan pengkhianatan yang diterima oleh Imam Ali Zainal Abidin, bagi beliau merupakan suatu hal yang harus ditanggung oleh pelaku dan bukan oleh beliau sehingga beliau tidak merasa layak menjatuhi hukuman dan beliau menunjukkan perbedaan akhlaq dalam memperlakukan orang lain bahkan memperlakukan pembunuh ayahanda dan kerabat beliau.  Kemuliaan akhlaq seperti ini yang benar-benar sukar dicari di kalangan ummat Islam sekarang ini.  Ummat Islam dewasa ini betul-betul seperti minyak yang sangat mudah terbakar hanya karena percikan api yang sedikit. Slogan Islam rahmatan lil alamin hanya berlaku bagi kelompoknya saja dan tidak berlaku bagi kelompok lain yang berbeda pendapat.  Bahkan faham takfiri yang dipegang kaum khawarij dengan mudah berkembang di timur-tengah hingga ke asia selatan dan mulai digandrungi kalangan muda di Indonesia.  Perlu pemahaman yang lebih bagi ummat untuk dapat lebih mengendalikan diri dari godaan fitnah khususnya fitnah dan godaan untuk menunjukkan keislaman yang lebih dibandingkan dengan orang lain.  Tanpa sadar seringkali kita tergoda untuk lebih menunjukkan kepada orang lain bahwa saya lebih Islam dibandingkan yang lain dengan tidak menyadari bahwa keinginan tersebut tak lebih dari kesombongan dan riya' semata.

Sudrun teman saya bilang
"Terusin cak omonganmu...aku lagi seneng dengerin.."

"Emoh, aku takut riya'.."

"Huh, sampeyan iki pancen sombong..!!!"



Wallahu a'lam bish showab

 *Dikisahkan oleh Syaikh Muhammad Tahir Ul Qadri, Pakistan. Diterjemahkan oleh Santrijagad

Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA