Mengambil Non-Muslim sebagai Auliya’, Haram?

Oleh Khoirul Himmi Setiawan

Catatan kali ini bisa jadi sangat panjang. Namun pendekatan itu diperlukan agar kajian yang saya sajikan berimbang. Catatan ini bukan kajian politik, meskipun saya akui salah satu alasan formulasinya ditengarahi oleh gema Pilkada DKI 2017. Kajian ini berbasis referensi kitab-kitab tafsir, yang saya himpun dari penelaahan pribadi maupun hasil diskursus pemikiran yang saya ikuti.
Sampai saat ini, masing-masing pihak yang mengharamkan dan tidak mengharamkan non-muslim sebagai auliya’ berada dalam kutub biner, yang seringkali terkotak pada bias pemikirannya sendiri dan cenderung keukeuh menolak pemikiran pihak lain. Sehingga saya pikir, catatan kali ini akan mengetengahkan kajian yang berorientasi pada solusi ketimbang polemik, dan juga mendialogkan antara komitmen terhadap agama dan negara.

Kenapa solusi? Sebelum menjawabnya, saya ajukan pertanyaan terlebih dahulu.

Inferensi nash (teks) Alqur’an adalah larangan (haram) mengambil non-muslim sebagai auliya’. Kata auliya’ sendiri adalah kata isytirak, kata dengan banyak makna, yang bisa diartikan pemimpin; sekutu; teman dekat (sahabat); kekasih; pelindung; penguasa; pemilik dan penolong.

Pertanyaanya: Apakah keharaman tersebut bersifat mutlak, atau terbatasi (muqayyad) pada konteks (illat) tertentu?



Jika anda berkeyakinan haram mutlak, maka ini problematik. Bisa jadi saat ini anda memiliki sahabat dekat, kolega kerja (pimpinan atau karyawan) dan akademik (profesor, pembimbing akademik, guru, mitra riset) dan bahkan tetangga non-muslim. Meyakininya sebagai haram mutlak yang tak terbatasi konteks akan membuat anda --yang berada dalam situasi tersebut-- melakukan keharaman harian.

Lalu, apakah haramnya tersebut muqayyad? Menentukan ini tidak mudah, karena memerlukan adanya penjelasan (qarinah), batasan (qayyid) dan petunjuk (dalalah) yang jelas. Jika tidak, kita akan terjebak pada hipokrisi dan inkonsistensi pemikiran dan tindakan.

Dari sinilah catatan ini diniatkan untuk digoreskan, untuk menyajikan kajian tengah (wasatiyah) yang berorientasi ilmiah.

Saya menggunakan beberapa kitab tafsir, namun rujukan utama pembahasan ada pada 4 kitab tafsir berikut:

1. Tafsir Jami’ al-bayan fi ta’wil al-qur’an, karya Imam Muhammad bin Jarir at-Thabary rahimahullah (225H/839M – 310H/923M). Kitab ini dikenal dengan sebutan Tafsir At-Thabary.

2. Tafsir al-Qur’an al-Adzim, karya Imam Isma’il bin Umar bin Katsir al-Syafi’i rahimahullah (701H/1301M – 774H/1372M). Kitab ini dikenal dengan sebutan Tafsir Ibn Katsir.

3. Tafsir al-Maraghi, karya Syeikh Ahmad Musthofa bin Muhammad al-Maraghi Beik rahimahullah (1300H/1883M – 1371H/1952M).

4. Tafsir al-Munir: Fi al-aqidah wa al-syari’ah wa al-manhaj, karya Syeikh Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili rahimahullah (1351H/1932M – 1437H/2015M).

Dua tafsir pertama adalah tafsir klasik (salaf) yang ditulis dengan corak tafsir bil ma’tsur, yaitu menafsirkan ayat alqur’an dengan penjelasan ayat yang lain, riwayat hadist Nabi, atsar (riwayat/pendapat) sahabat Nabi melalui pemikiran (ijtihad) mereka, atau pendapat tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi) yang diakui kedalaman ilmunya. Sedangkan dua tafsir terakhir adalah tafsir kontemporer (khalaf), tafsir zaman kita, yang ditulis dengan kombinasi corak bil ma’tsur dan bil ra’yi, yaitu tambahan penjelasan (idhah) pengarangnya dengan basis pemikiran (ijtihad), keyakinan (i’tiqad), dan analogi (qiyas).

Semoga tulisan ini menjadi catatan amal kebaikan dan membawa kemanfaatan ilmu.

Tentang Auliya’: kata dan makna
Akibat polemik pidato Basuki Tjahaya Purnama, titik perhatian penafsiran kata auliya’ ada pada Q.S. al-Maidah (5): 51. Padahal, kata ini disebut setidaknya 36 kali di 35 ayat dari 19 Surat dalam Alqur’an. Arti kata auliya’, yang merupakan bentuk jamak dari kata wali, menurut kamus al-ma’any diartikan sebagai:

1.    Penguasa, pemimpin, pemangku kuasa (kullu man waliya amran au qaama bihi)

2.    Penolong, pelindung (an-nashiir)

3.    Kekasih (al-muhib)

4.    Teman (al-shodiq, dimana kata wali berarti teman laki-laki; dan waliyah adalah teman perempuan)

5.    Sekutu (al-haliif)

6.    Kerabat keluarga disebabkan pernikahan (al-shihru)

7.    Tetangga (al-jar)

8.    Orang yang terlibat komitmen/perjanjian (al-aqiid)

9.    Pengikut, anak buah (al-taabi’)

10.    Orang yang taat, patuh (al-muthi’)

Dikarenakan multi-makna, dalam catatan ini saya akan menggunakan kata auliya’ atau wali secara langsung, bukan terjemahan atau padanan katanya. Kenapa demikian? Karena untuk menghindari bias makna. Ketika suatu kata itu musytarak (multi-makna), tidak menutup kemungkinan makna kata tersebut dalam satu ayat berbeda padanan maknanya dengan kata yang sama di ayat yang lain.

Sebagai contoh: Ibnu Jarir al-Thabary mengartikan “auliya’ al-syaitaan” dalam Q.S An-Nisa’ (4): 76 sebagai “pengikut-pengikut, mereka yang patuh kepada setan dan saling tolong-menolong dalam jalan kesesatan”. Kata auliya’ dalam ayat tersebut telah tersandarkan (mudhaf) pada kata al-syaitaan, sehingga padanan maknanya bisa ditafsirkan sebagai al-muthi’, dan an-nashiir. Sedangkan dalam Q.S. Al-Ankabut (29): 41, kata auliya’ oleh at-Thabary diterjemahkan sebagai pelindung dan penolong (sesembahan selain Allah).

Namun, jika kata tersebut berdiri sendiri tanpa sandaran (idhofah) dan sifat, maka akan sulit mendefinisikannya dalam satu padanan makna. Hal ini kita temui dalam ayat-ayat Alqur’an yang melarang mengambil non-muslim sebagai auliya’. Maka mengutip terjemahan saja tidak cukup. Menjadi keharusan untuk mengacu pada rumusan ulama’-ulama’ tafsir dalam memahami ayat-ayat tersebut dengan benar.

Tafsir ulama’ terkait larangan mengambil non-muslim sebagai auliya’

Ibnu Katsir, dalam menafsirkan Q.S. Ali Imran (3): 28 menyatakan bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman untuk ber-muwalah (mengambil wali) orang kafir, menjadikan mereka auliya’ dan berpaling dari kaum mukmin. At-Thabary mengartikan auliya’ dalam ayat ini sebagai teman dekat dan penolong (a’wan dan anshar). Dalam lanjutan keterangannya, Ibnu katsir menjelaskan siapa saja yang dilarang untuk dijadikan auliya’: yaitu orang kafir (Q.S. An-Nisa’ (4): 144; Al-Anfal (8): 73), orang Yahudi dan Nashrani (Q.S. Al-Maidah (5): 51), dan mereka-mereka yang memusuhi Islam (Q.S. Al-Mumtahanah (60): 1).

Ibnu Katsir menjelaskan tentang muwalah (mengambil wali) non-muslim yang dilarang dalam tafsiran ayat Q.S. An-Nisa’ (4): 144, yaitu saling bersahabat dan saling berkonsultasi atas dasar kecintaan, serta menyerahkan urusan-urusan internal kaum muslim. Syeikh Al-Sa’dy (Tafsir Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan), dalam tafsirnya menjelaskan kaum mukmin dilarang mengambil wali non-muslim atas dasar kecintaan, tolong-menolong dengan mereka terkait urusan-urusan umat Islam. Mengambil wali non-muslim dalam hal itu dianggap tak sinergis dengan esensi keimanan, yang meniscayakan muwalah kepada Allah dan sesama kaum mukmin untuk saling tolong-menolong dalam menegakkan agama Allah dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya.

Ibnu Katsir tidak merinci, urusan-urusan internal kaum muslim yang seperti apa yang dimaksud dalam tafsir beliau. Namun dengan menyelaraskan dua penjelasan (Ibnu Katsir dan al-Sa’dy) tadi, kita bisa menarik indikasi bahwa urusan kaum mukmin yang dimaksud adalah “penegakan agama Allah (iqamatu dinillah) dan perjuangan melawan musuh Allah (wa jihadu a’daillah)”. Hal ini senada dengan tafsir Ibnu Katsir atas Q.S. Al-Maidah (5): 51, tentang larangan mengambil wali dari kalangan Yahudi dan Nashrani, diberi batasan “alladzina hum a’dau al-islam wa ahlihi” yaitu mereka di antara kaum Yahudi dan Nashrani tersebut yang memusuhi Islam dan kaum muslimin. Tidak merujuk kepada seluruh kaum Yahudi dan Nashrani, hanya mereka yang memusuhi kaum muslimin lah yang dilarang untuk dijadikan auliya’. Dalam Q.S. Al-Maidah (5): 82, Alqur’an mengabadikan bahwa diantara kaum Nashrani negeri Habsyah (Ethiopia) adalah mereka yang memiliki kedekatan dan cinta kasih kepada kaum muslim, “walatajidanna aqrabahum mawaddatan lilladzina amanu
al-ladzina qalu inna nashara”, dan menyebut kaum Yahudi arab dan musyrik arab sebagai orang-orang yang besar permusuhannya (Lihat Tafsir al-Munir (4): 5). Konteks larangan muwalah (mengambil wali) non-muslim menurut Ibnu Katsir dan Al-Sa’dy ada pada permusuhan mereka terhadap agama Islam dan kaum muslimin.

Penjelasan Wahbah al-Zuhaili lebih spesifik mengenai ber-muwalah (mengambil wali) seperti apa yang dilarang. Yaitu mengambil pertolongan dan saling membantu dengan kaum kafir dikarenakan kedekatan dan kecintaan, dengan disertai rusaknya keyakinan (aqidah). Hal ini dikarenakan dengan ber-muwalah kaum kafir berarti menganggap baik jalan [keagamaan] mereka. Dan juga dilarang ber-muwalah dalam arti ridho [rela dengan disertai keyakinan] atas kekufuran mereka. Karena ketika rela dengan kekufuran, berarti kita telah menjadi kafir. (lihat Tafsir al-Munir (2): 216-217).

Senada dengan Al-Zuhaili, Musthafa al-Maraghi juga menegaskan larangan ber-muwalah (mengambil wali) dalam persoalan-persolan keagamaan dan mendahulukan kemaslahatan non-muslim di atas kemaslahatan kaum mukmin. Kemaslahatan yang dimaksud al-Maraghi dalam konteks mengutamakan urusan keyakinan non-muslim di atas kaum muslim dan membantu urusan keimanan mereka (lihat Tafsir al-Munir (2): 216 dan Tafsir al-maraghi (3): 132). Keduanya sepakat bahwa titik larangan mengambil wali non-muslim ada di konteks “hilangnya kemaslahatan” kaum mukmin, atau dalam bahasa lain, adanya diskriminasi hak dan jaminan sosial-keagamaan kaum muslimin. Al-Maraghi dan al-Zuhaili menjelaskan illat (kausa hukum) larangan mengambil wali non-muslim adalah kezaliman, yaitu berlaku tidak adil yang menyebabkan hilangnya kemaslahatan dan pengkhianatan terhadap kepentingan kaum muslimin (Lihat Tafsir al-Maraghi (6): 137 dan Tafsir al-Munir (3): 578).

Konteks “kemaslahatan” ini disebut dalam penjelasan al-Zuhaili dan al-Maraghi tentang muwalah (mengambil wali), muhalafah (bersekutu), saling tolong-menolong (munasharah) dengan non-muslim seperti apa yang dibolehkan dalam Islam. Keduanya berpendapat, boleh selama per-wali-an dan persekutuan tadi dilakukan untuk kemaslahatan kaum muslimin (lihat tafsir al-Munir (2): 217), dan dalam urusan-urusan dan kemaslahatan duniawi tanpa diikuti kerelaan mengikuti keagamaan mereka (lihat tafsir al-Maraghi (3): 132 dan Tafsir al-Maraghi (6): 136-137). Keduanya mengambil rujukan dari tindakan Rasulullah SAW yang bersekutu dengan kabilah (suku) Khaza’ah dalam permusuhan kaum muslimin dengan kaum kafir Quraisy, dan suku Khaza’ah saat itu tetap berada dalam kesyirikan keyakinan mereka.

Lalu, jika tafsiran keempat imam tafsir terhadap mengambil non-muslim sebagai auliya’ tersebut merujuk kepada pertemanan, pertolongan dan persekutuan, dan tidak menyebut secara spesifik mengenai permasalahan kepemimpinan, bagaimana ayat-ayat tersebut saat ini digunakan sebagai dalil dalam melarang mengambil non-muslim sebagai pemimpin?

Jawabannya, para ulama’ menarik simpulan hukum haramnya memilih non-muslim sebagai pemimpin, didasarkan pada atsar (riwayat) yang dinukil dari sahabat Umar ibn Khattab dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallah anhuma, sebagaimana tersebut dalam tafsir Ibnu Katsir Q.S. Al-Maidah (5): 51, dari riwayat Ibnu Abi Hatim. Mari kita cermati kisah dan ulasannya.

Atsar Khalifah Umar r.a seputar larangan mengangkat non-muslim sebagai auliya’Khalifah Umar r.a meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a (gubernur di Bashrah, Irak) untuk menyampaikan laporan pendapatan pengeluaran dalam pengelolaan negara. Saat itu Abu Musa telah mengangkat seorang Nasrani sebagai Katib (sekretaris), dan mereka menghadap kepada Khalifah Umar. Sang Khalifah sangat kagum atas catatan laporan Abu Musa, dan memujinya. Khalifah Umar: “[laporan] Ini sangat rapi, apakah mungkin dia (sekretaris) juga mengkaji catatan laporan di Masjid [Nabawi] yang datang dari Syam (Suriah)”. Abu Musa menjawab, “Dia (sekretaris) tidak diperbolehkan masuk masjid”. Khalifah Umar bertanya, “Apakah dia sedang junub (menanggung hadats besar)?” Abu Musa menjawab, “Tidak, dia seorang Nashrani”. Seketika Khalifah Umar bereaksi keras dan menepuk paha Abu Musa, “keluarkan dia (akhrijuhu)”, lalu membacakan Q.S. Al-Maidah (5): 51.

Pengertian auliya’ dalam kisah di atas dapat dipadankan dengan pemegang kuasa atas sesuatu (man waliya amran au qama bihi), atau sering dinisbatkan kepada pemimpin, pemegang wewenang.

Membaca kisah tersebut, membawa kita kepada diskusi mengenai kedudukan atsar (riwayat yang dinukil) dan qaul (pendapat keagamaan) sahabat nabi sebagai hujjah (dalil, landasan) dalam hukum Islam. Sebagaimana kita tahu, keempat madzhab ahli sunnah wal jama’ah bersepakat bahwa riwayat/pendapat sahabat bisa dijadikan sumber hukum Islam, namun berbeda-beda dalam memandang kedudukan tindakan/pendapat sahabat tersebut.

• Imam Abu Hanifah rahimahullah berpegang pada Alquran dan Sunnah. Bila tidak mendapatkan rujukan pada keduanya, maka beliau akan merujuk pada qaul (pendapat) sahabat, dan apabila terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf), maka beliau akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang beliau kehendaki.

• Imam Malik rahimahullah berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Rasul yang beliau pandang sah, Ijma’ (kesepakatan umum, tanpa ditemukan riwayat penolakan dan ikhtilaf, perbedaan pendapat) penduduk Madinah (kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh penduduk Madinah).

• Imam As-Syafi’i rahimahullah berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian jika tidak ditemukan berpegang pada pendapat keagamaan sahabat yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan umum, tanpa ditemukan riwayat penolakan dan ikhtilaf, perbedaan pendapat diantara mereka), lalu tindakan/pendapat al-Khulafa al-Rasyidin (Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum), baru kemudian pendapat-pendapat yang diperselisihkan (ikhtilaf) diantara sahabat dan menimbang mana yang kuat untuk dijadikan dalil.

• Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengambil hukum dari Alquran, Sunnah, baru kemudian pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Sunnah.

Dari keempat imam tersebut, saya lebih condong kepada pendapat Imam As-Syafi’i, yang saya anggap paling komprehensif dalam mengklasifikasikan tingkatan riwayat/pendapat sahabat sebagai dalil, yakni: mengacu pada ijma’ sahabat, tindakan/pendapat khulafa’ rasyidin (4 khalifah setelah Rasul), baru kemudian memilah pendapat sahabat yang unggul.

Di dalam kisah yang saya bawakan di atas, ada dua pendapat sahabat, yaitu: (1) Pendapat Abu Musa al-Asy’ari yang mengangkat seorang Nashrani sebagai katib (sekretaris), dan (2) Pendapat Khalifah Umar yang melarang dengan reaksi keras (intahara). Jika merujuk kepada metode pengambilan hukum Imam As-Syafi’i, maka kedudukan tindakan/pendapat Umar di atas menjadi sangat kuat sebagai dalil, lebih unggul dari tindakan/pendapat Abu Musa al-Asy’ari. Pertama, tidak ditemukan riwayat penolakan atas tindakan Umar tersebut dari sahabat yang lain, sehingga kedudukan riwayat/tindakan Umar tersebut bisa diklasifikasikan sebagai ijma’ sahabat. Kedua, Umar adalah Khalifah Rasyidah, lebih diunggulkan dibanding sekedar pendapat perorangan sahabat nabi.

Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjadi illat (alasan penetapan suatu hukum atau kausa hukum) dibalik tindakan Khalifah Umar tersebut. Ibnu katsir menjelaskan bahwa pelarangan mengangkat katib (sekretaris) dari kalangan non-muslim adalah kekhawatiran bocornya informasi-informasi penting pemerintahan Islam kepada musuh-musuh Islam. Suasana politik masa itu, dan keadaan khilafah Islam yang relatif baru, membuat perkara ini sangat penting dan genting. Dari sini, Dr. Nadirsyah Hosen hafidzahullah (Monash University, Australia/Syuriah PCI-NU Australia dan Selandia Baru) berpendapat, kausa hukum pelarangan mengambil non-muslim sebagai auliya’ tadi adalah “pengkhianatan”, yang juga sesuai dengan konteks riwayat sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat-ayat Alqur’an tentang hal itu. Lain lagi dengan K.H. Afifuddin Muhadjir hafidzahullah, ulama’ pakar ushul fiqh dari Pesantren Salafiyah Syafi’iyah (Situbondo, Jawa Timur) yang berpendapat kausa hukum tindakan Umar adalah “kekafiran”.

Penentuan kausa hukum dalam hukum Islam sangat penting, karena berimplikasi pada praktek penerapan hukum. Salah satu kaidah ushul fiqh yang sangat populer adalah “al-hukmu yaduuru ma’a illatihi wujuudan wa adaman”, yang berarti hukum itu berputar mengikuti kausanya; jika kausanya ada maka berlaku hukum tersebut, bila kausanya tidak ada maka hukumpun tidak ada. Ada tidaknya kausa, bisa dipengaruhi oleh perubahan situasi dan kondisi. Jika anda mengikuti pendapat Dr. Nadirsyah Hosen, maka selama pengkhianatan tak mungkin terjadi, maka larangan mengambil pemimpin non-muslim menjadi tidak ada. Namun, jika kekafiran yang anda yakini menjadi kausa, maka penerapan larangan hukum ini baru gugur jika sang kafir masuk Islam.

Kita menjadi paham, sedemikian penting menentukan kausa hukum, karena implikasi penerapan hukumnya bisa jauh berbeda.

Saya sendiri dalam menyikapi perbedaan kausa hukum dua pakar di atas, lebih memilih mengembalikan pada konteks ayatnya, dan memilih pendapat Syeikh Musthafa al-Maraghi dan Dr. Wahbah al-Zuhaili yang memandang kezaliman dan tak terjaminnya kemaslahatan kaum muslimin sebagai kausa hukum pelarangan mengambil non-muslim sebagai pemimpin, bukan kekafiran.

Kenapa demikian? Jika kekafiran yang menjadi kausa hukum, maka ini bertentangan dengan apa yang dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri, yaitu Beliau bersekutu dengan suku Khaza’ah, dan Rasulullah tetap membiarkan mereka dalam kesyirikan. Meskipun konteks muwalah dengan non-muslim yang dilakukan Rasulullah adalah dalam konteks “pertemanan dan persekutuan” dan bukan kepemimpinan, justru ini menunjukkan bahwa yang dilakukan Khalifah Umar menggunakan Q.S. Al-Maidah (5): 51 dalam pelarangan pengangkatan non-muslim sebagai Katib (sekretaris) adalah persoalan ijtihadiyah pada lingkup tertentu. Persoalan yang ditimbang berdasarkan pemikiran beliau, demi tercapainya kemaslahatan umum sesuai konteks dan kondisi yang beliau hadapi.

Apa yang dicontohkan oleh para ulama’, pejuang dan cendekiawan Muslim dalam mendirikan Negara Indonesia dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, adalah bentuk ejawantah dari Sunnah Rasulullah sendiri. Bekerja-sama dengan non-muslim dalam bernegara tanpa condong kepada kekufuran, dan tetap mengacu pada maqashid (tujuan-tujuan fundamental) syariat Islam: Ketuhanan yang Maha Esa (Tauhid, hifz al-din); kemanusiaan yang adil dan beradab (hifz al-nafs dan hifz al-aql), persatuan (ukhuwwah dan selalu bersama dengan jama’ah), permusyawaratan (syura) dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (hifz al-mal dan hifz al-nasl wal ‘ird) tanpa adanya diskriminasi hak-hak warga negara untuk mewujudkan kemaslahatan umum.

Wallahu a’lam.

Kyoto, Ahad, 30 Oktober 2016


Khoirul Himmi Setiawan, anggota Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama, Jepang

Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA