Haji, Perjalanan Air Mata Kembali Kepada Mata Air






لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ ، لَا شَرِيْكَ لَكَ.


Aku datang memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kemuliaan dan segenap kemuliaan dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu

Menerima panggilan Allah untuk melaksanakan ibadah yang merupakan rukun kelima dalam Rukun Islam sungguh suatu kelegaan tersendiri yang tidak henti-hentinya saya syukuri dalam hati saya. Karena Ibadah Haji ini merupakan ibadah yang paling musykil bagi saya. Ibadah yang paling berat sekaligus paling ringan, ibadah yang bentuknya merupakan ujian kesabaran dan ketaatan kepada perintah Yang Maha Esa.



Kita bisa bayangkan kalau melaksanakan ibadah haji merupakan ibadah yang paling sulit mengingat tingkat kesulitan dari memperoleh visa haji, menabung untuk bisa berangkat, antrian pemberangkatan hingga pelaksanaannya sendiri yang bisa menjadi sangat berat secara fisik dan mental. Tetapi juga merupakan yang paling ringan mengingat kalau kita tidak mampu menempuhnya maka ibadah ini menjadi tidak wajib, bisa di-badal­-kan kalau orangnya sudah meninggal. Musykil karena bentuknya gak pake sujud-sujud seperti sholat yang lima waktu, gak pake lapar-lapar seperti puasa dan gak ada mengeluarkan kewajiban uang, lha wong kalo berangkat haji ngoboy saja alias tidak bawa uang, disana itu terjamin makanan dan minuman yang berlimpah baik yang disiapkan pemerintah Arab Saudi maupun disiapkan orang yang ber-shodaqoh….. ibadahnya disana itu cuman berjalan mengelilingi Ka’bah, lari-lari kecil diantara Shofa dan Marwah, lalu berdiam diri…ya, berdiam diri saja di padang Arafah, gak harus ngapa-ngapain…lalu melempar batu jumroh yang melambangkan melempar setan dan bermalam di Mina. Kalau orang yang malas berfikir mungkin akan bilang ibadah model apa ini? Tapi, justru dalam melaksanakan ibadah haji ini kita benar-benar diuji keimanannya, apakah akan mentaati perintah Allah? Apakah bisa mengambil hikmah kehidupan Nabi Ibrahim alaihissalam yang penuh perjuangan dalam mengabdi kepadaNya? Apakah keikhlasan kita dalam menghadap Allah dan bercengkerama denganNya sudah terpatri dalam diri kita baik ruhaniah maupun badaniah? Apakah kita bisa menahan hati, pikiran, mulut dan perbuatan kita ketika menjadi tamuNya? Apakah segala kesulitan yang dihadapi bisa kita pasrahkan kembali kepadaNya? Apakah kalimat “iyaa kana’budu wa iyya kanashta’in” yang dibaca oleh kita minimal dua kali setiap sholat menemukan bentuk nyata dihadapanNya?

***

Ibadah haji merupakan salah satu dari kelima Rukun Islam, yakni sebagai rukun terakhir setelah syahadat, shalat, puasa dan zakat. Perintah menunaikan ibadah haji adalah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, Surah Ali Imran, Ayat 97 sebagai berikut:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَ مِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”


Ayat di atas menjelaskan bahwa ibadah haji itu wajib. Tetapi hukum wajib itu dikaitkan dengan kemampuan karena ibadah ini merupakan sebuah perjalanan yang membutuhkan kemampuan materi dan kekuatan fisik. Bila sebuah ibadah dikaitkan langsung dengan kemampuan para hamba-Nya, maka terdapat hikmah tertentu yang menunjukkan kebijaksanaan Allah SWT. Orang-orang beriman akan menerima ketentuan tersebut tanpa berat hati.

Di sisi lain, dikaitkannya ibadah haji dengan kemampuan para hamba-Nya menunjukkan kasih sayang Allah SWT yang besar terhadap mereka. Semua ini sebagaimana telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah, Ayat 286:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.”

Hal yang sama juga ditegaskan dalam Surah Al Maidah, Ayat 6:

مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: “Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.”

Selain di dalam Al-Qur’an, perintah ibadah haji juga disebut di dalam hadits Rasulullah SW. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda dalam suatu pidatonya:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ وْعَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُهُ

Artinya: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau berkata: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah.”


Dari hadits tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa kewajiban menjalankan ibadah haji hanya sekali seumur hidup. Selebihnya tidak wajib.

Menunaikan ibadah haji hendaknya tidak ditunda-tunda sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa jadi kita akan sakit atau malah mengalami kemunduran secara ekonomi, atau malah sudah meninggal dunia. Hal-hal seperti ini bisa menghilangkan kesempatan ibadah haji yang sebenarnya sudah ada di tangan.

Hilangnya kesempatan itu tidak berarti Allah SWT belum memanggil kita. Dengan diwajibkannya menunaikan ibadah haji sebagaimana termaktub dalam Al Quran dan Hadits, sesungguhnya setiap orang sudah dipanggil Allah SWT untuk menunaikan ibadah tersebut. Tentu saja bagi mereka yang memang sudah mampu hendaknya segera memenuhi panggilan itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيْضُ وَتَضِلُّ الضَالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

Artinya: “Barangsiapa hendak melaksanakan haji, hendaklah segera ia lakukan, karena terkadang seseorang itu sakit, binatang (kendaraannya) hilang, dan adanya suatu hajat yang menghalangi.”

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

مَنْ لَمْ تَحْبِسْهُ حَاجَةٌ ظَاهِرَةٌ ، أَوْ مَرَضٌ حَابِسٌ ، أَوْ سُلْطَانٌ جَائِرٌ وَلَمْ يَحُجَّ ، فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُودِيًّا وَإِنْ شَاءَ نَصْرَانِي

Artinya: “Siapa saja mati (sebelum mengerjakan haji) tanpa teralangi oleh kebutuhan yang nyata, penyakit yang menghambat ataupun penguasa yang dzalim, bolehlah ia memilih saja mati sebagai seorang Yahudi atau Nasrani”.


Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa menunda-nunda ibadah haji padahal benar-benar sudah mampu dan semua keadaan memungkinkan, merupakan hal yang sangat tidak baik. Rasulullah SAW sampai mempersilakan orang seperti itu untuk memilih mati saja sebagai orang Yahudi ataupun Nasrani. Na’udzu billahi min dzalik.

Lalu bagaimana dengan mereka yang belum mampu menunaikan ibadah haji karena memang tidak mampu atau miskin? Rasulullah SAW pernah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan Abu Nu’aim al-Qudha’i dan Ibnu ‘Asakir dari Ibnu ‘Abbas, sebagaimana termaktub dalam Kitab Al-Jami’ush Shaghir, berbunyi:

اءلجمعة حج الفاقر

Artinya: “Shalat Jum’at adalah hajinya orang-orang miskin”.

Maksud hadits tersebut adalah shalat Jumat di masjid bagi orang-orang yang tidak mampu sama pahalanya dengan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Beberapa pihak menilai hadits di atas lemah. Tetapi sebagai upaya untuk mendorong orang-orang yang belum mampu menunaikan ibadah haji karena memang miskin, hadits ini sangat baik untuk diperhatikan agar mereka secara istiqamah dapat melaksanakan jamaah shalat Jumat di masjid. Siapa tahu dengan istiqamah jamaah shalat Jumat, Allah SWT pada saatnya benar-benar memberikan kesempatan kepada mereka menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah Al Mukarromah. Amin ... amin ... ya Rabbal Alamin...

Terlepas dari status hadits di atas, hadits tersebut sebetulnya menunjukkan keadilan di dalam Islam bahwa orang-orang yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji tetap memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pahala yang besar, yakni dengan berjamaah shalat Jum’at secara istiqamah terutama di masjid. Dengan demikian, maka ajaran Islam tidak memiggirkan atau membuat kecil hati orang-orang lemah karena Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang penuh kasih sayang.

Ketika menunaikan Ibadah Haji, seringkali seseorang menemui atau mengalami kejadian-kejadian yang diluar akal, baik berupa kebaikan maupun kesusahan. Itu sebabnya ketika berhaji hendaknya menjaga pikiran, hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyakiti mahluk Allah yang lain, siapapun itu dan apapun itu.

***

Berikut juga saya sampaikan kisah yang ditulis dalam Kitab “Tadzkirat al Awilya” karya Imam Fariduddin Attar. Kisah ini menceritakan tentang Imam Abdullah bin al-Mubarak, seorang ahli hadits yang nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin al Mubarak al Hanzhali al Marwazi. Beliau lahir pada tahun 118 H / 736 M. Beliau merupakan seorang ahli hadits dan tasawwuf yang juga merupakan seorang saudagar kaya dan murah hati. Beliau meninggal pada tahun 181 H / 797 M di kota Hit di sebelah sungai Eufrat.

Menunaikan ibadah haji bagi seorang ulama Abdullah bin al Mubarak adalah amal yang besar seperti jihad fi sabilillah. Ia menunaikan ibadah haji setelah bekerja keras dan berhasil mengumpulkan 500 dinar uang emas. Ulama asal Khurasan ini berkisah.

Suatu saat ketika dirinya tertidur di Masjidil Haram kala menuaikan ibadah haji. Ia pun bermimpi. Dalam mimpinya itu terlihat olehnya dua malaikat turun dari langit dan bercakap cakap. “Berapa jumlah orang yang menunaikan ibadah haji pada tahun ini?” kata salah satu diantara keduanya. “Enam ratus ribu,” jawab malaikat satunya. Lalu malaikat yang tadi bertanya lagi, “Berapa yang diterima hajinya?” Malaikat yang satunyapun menjawab,” Tidak ada yang diterima.”

Mendengar Percakapan Abdullah bin al Mubarakpun menjadi gemetar. Kemudian iapun menangis. “Semua orang yang ada di sini telah datang dari berbagai penjuru bumi. Dengan dengan kesulitan yang besar dan keletihan semuanya menjadi sia-sia?” pikir Ibn al Mubarak dalam mimpinya. Tiba-tiba salah satu malaikat berkata lagi. “ Kecuali hanya seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Muwaffaq. Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Bahkan berkat dialah ibadah seluruh jamaah haji ini diterima oleh Allah.”

Ketika Abdullah bin al Mubarak mendengar percakapannya itu, dan kemudian terbangun. Mimpi tersebut membuatnya tercenung. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, berangkatlah ke Damaskus. Mulailah menelusuri jejak Ali bin Muwaffaq di lorong-lorong kota. Sampai akhirnya tempat tinggal Muwaffaq ditemukan.

Sesampainya dirumah yang dicarinya, Syeikh Abdullah bin al Mubarak kemudian mengetuk pintu.“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” sapanya sambil mengetuk pintu. Setelah itu si empunya rumah membuka pintunya. Terjadilah bercakapan. Abdullah Ibnu Mubarakpun menceritakan perihal mimpinya. Mendengar cerita tersebut, Muwaffaq lalu menangis dan jatuh pingsan.

Ketika tersadar Abdullah bin al Mubarak memohon agar Muwaffaq berkenan untuk menceritakan semua yang dialaminya terkait dengan hajinya. Kemudian Muwaffaqpun beriksah perihal rencananya untuk menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan bahwa selama 40 tahun punya keinginan besar untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk itu dirinya telah berhasil mengumpulkan uang sebanyak 350 dirham dari berdagang sepatu.

Suatu ketika, istrinya yang sedang hamil mencium aroma sedap makanan yang dimasak tetangganya. Kemudian sang istri memohon kepada Muaffaq agar dapat mencicipi masakan tetangganya itu walau sedikit. Lalu Muwaffaq pergi menuju tetangga yang kebetulah di sebelah rumahnya. Sesampai di rumah tetangganya itu Muwaffaq mengutarakan maksud kedatangannya.

Tidak dinyana tetangganya justru menangis. Ia berkata “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa. Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu,” ungkapnya sambil sesunggukan dan berderai airmatanya. Seketika itu hati Muwaffaq menjadi trenyuh. Ia kemudian balik kerumah dan mengambil tabungan yang terkumpul untuk berhaji dan diberikan kepada tetangganya yang membutuhkan itu. “Belanjakan uang ini untuk anakmu,” kata Muwaffaq. Saat itu ia berkata dalam hati, “Inilah hajiku.”

“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku dan Penguasa Kerajaan Surga adalah benar dalam keputusanNya”, ucap Abdullah.

Kisah yang disampaikan oleh Imam Abdullah bin al Mubarak menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa seorang penjual sepatu yang bahkan tidak berangkat ke Arafah, diterima ibadah hajinya sebagai haji yang mabrur karena keikhlasannya untuk merelakan biaya hajinya guna menolong tetangganya. Subhanallah.
***

Perjalanan ibadah haji seringkali membawa alam religius yang berbeda bila dibandingkan dengan ibadah lainnya. Tetes air mata selalu membasahi pipi ketika menyadari betapa banyak kekurangan kita, betapa lemahnya kita dan betapa kurang ajarnya kita kepada Allah SWT. Tangisan saya pertama kali di depan Ka'bah adalah ketika menjalani sholat subuh dan Syeikh Sudais (Imam Masjidil Haram) membaca surat Ar-Rahman. Entah bagaimana tiba-tiba kesadaran hati dan jiwa ini seperti dihantam badai ketika Imam melantunkan ayat
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
"Dan nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?"

Seketika itu juga runtuh lah pertahanan air mata ini untuk kemudian kembali kepada samudra mata air Mu Ya Allah. Sungguh tidak ada lagi kenikmatan selain ketika menghadapNya. Subhanallah.

***

Dr. Syeikh Yusuf Qardhawi menyampaikan bahwa ibadah haji merupakan ibadah perpaduan antara ibadah fisik dan harta. Tidak seperti sholat dan puasa yang merupakan ibadah fisik saja dan ibadah zakat yang merupakan ibadah harta saja. Keunikan inilah yang menyebabkan kewajibannya hanya satu kali saja. Itupun, harus dilandasi dengan keikhlasan hati yang bahkan hanya Allah yang mengetahuinya saja. Sebagaimana dalam kisah Abdullah bin al Mubarak, bahwa pahala atau balasan dari Allah kepada orang yang berhaji mabrur tidaklah diukur dari berangkatnya ke tanah suci, tetapi dari keikhlasan hati untuk melaksanakan ibadah tersebut.
Semoga saudara-saudaraku akan menerima panggilan berikutnya sebagai tamu Allah. Aamiiin

اللَّهُمَّ اجْعَلْ حَجًّا مَبْرُوْرًا وَ سَعْيًا مَشْكُوْرًا وَ ذَنْبًا مَغْفُوْرًا
***
Sudrun bilang

"Aku hajinya model Ali bin Muwaffaq aja Mas…”

"Iya mas, nabung dulu terus ntar kasihkan tetangganya.."


“Lha......koq”

"Aamiiiin...."

"Mas..."













Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA