Menjawab Broadcast Tentang Kelirunya Tradisi Halal Bihalal dan Ucapan Minal Aidin wal Faizin


Beberapa hari lagi kita akan mengakhiri bulan Romadlon.  Salah satu cirinya adalah pelaksanaan sholat tarawih yang semakin maju (shof-nya), maraknya berita soal persiapan mudik dan sibuknya para karyawan membahas soal THR, plus jangan lupa iklan sirup Marjan yang sudah sampai ke edisi mudik.

Kemudian insya Allah kita akan menjumpai Hari Raya ‘Idul Fitri, tanggal 1 Syawal.  Dulu sekali waktu saya masih kecil, yang selalu ditunggu adalah beli baju baru, kumpul sesama saudara dan makan ketupat sama opor ayam dan sambel goreng hati saat halal bihalal dan saling mengucapkan minal aidin wal faizin.  Dimana-mana ya seperti itu.  Gak ada yang ribut tuh soal dari mana tradisi itu berasal, bid’ah apa nggak dan seperti apa sunnah Rasulullahnya.  Kami yang tinggal di lingkungan pesantren ya nyantai-nyantai aja soal halal bihalal dan minal aidin wal faizin ini.  Baru sekarang-sekarang inilah di Indonesia banyak yang meributkan soal ini.  Gara-garanya? Gara-garanya ya adanya sekelompok orang yang tiba-tiba nge-broadcast dan berkata lantang membid’ahkan halal bihalal dan ucapan minal aidin wal faizin ini.  Dibilang gak ngikutin sunnah Rasul, sangat keliru luar biasa rek.  Keliru aja udah gak enak, ini pake kata “sangat” ditambah kata "luar biasa" pula.  Akhirnya, orang-orang yang tau ilmu dan latar belakangnya soal ngucap-ngucapin ini mangkel, sementara yang gak tau jadi gak pe-de.  Iya, gak pe-de, takut salah, takut bid’ah dan masuk neraka. Kan katanya kullu bid'atun dlolalah, kullu dlolalatun finnar.   

Bayangkan ngerinya, wong niatnya mau silaturahim, saling bercengkerama dan maaf-maafan supaya fitrah lagi koq malah dibilang bakal masuk neraka. Hiiiiiih…ini efek dari mbid’ah-mbid’ahkan itu…semuanya yang biasa dikerjakan jadinya masuk jurusan arah ke neraka.  Padahal Kyai-kyai dulu ya menjalankan dan mengajari itu dengan santai dan penuh kenikmatan.  Nggak mungkin toh Kyai-kyai itu membiarkan kalau hukumnya halal bihalal dan ngucapin minal aidin wal faizin itu melanggar syari’at Islam. (Lah, dulu kan orang percaya aja sama Kyai, jadi gak pake nanya-nanya dalil, tapi yang jaman sekarang kan nggak gitu, wong banyak yang ngaku minimal ustadz tapi kenyataannya ya nggak kaya Kyai terutama kalo khotbah.  Ustadz jaman sekarang mah pake dalilnya banyak, bahkan ada yang berani bilang kalo Kyai dulu fatwanya gak berdasar karena gak pake dalil alias gak disebutin dalilnya.  Gak ngerti dia kalo di pesantren yang suka ndalil itu santri Ibtidaiyah atau SD.  Kyai mah nggak perlu ngasih dalil tapi langsung ngasih contoh perilaku dan mauidzoh hasanah saja).

Sebenarnya saya rada enggan membahas soal ini. Tapi Mas Sudrun maksa sih..dia bilang "Tulislah Mas, biar broadcast itu nggak dijadiin rujukan orang lain...ntar kalo saya ngadain halal bihalal dan bilang minal aidin wal faizin jadi ikutan dituduh bid'ah juga...padahal saya gak bisa jawab piye?".

Ya akhirnya saya mau cerita saja dikit soal halal bihalal dan ucapan minal aidin wal faizin ini.  Mari kita mulai dengan tradisi halal bihalal.
 

HALAL BIHALAL.

Di tanah kelahiran Islam, Arab Saudi, tradisi halal bihalal justru tak dikenal. Juga di sebagian besar negara-negara muslim di dunia. Dalam Al-Quran dan Hadis, istilah itu juga tak ditemukan. Tradisi ini hanya khas di Indonesia.  Di kampung-kampung, tradisi bermaaf-maafan biasanya dilakukan usai shalat Idul Fitri atau usai berziarah. Mereka mendatangi satu rumah ke rumah lainya, terutama pemilik rumah yang lebih tua atau dituakan seperti para kiai. Si pemilik rumah menyediakan rupa-rupa makanan, biasanya makanan khas, lokal sebagai penghormatan terhadap tamu dan kegembiraan di hari lebaran. Tak hanya di kampung-kampung, tradisi saling bermaaf-maafan ini juga menjadi tradisi rutin yang digelar instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta. Para pemimpin instansi dan perusahaan menjadikan momen halal bihalal sebagai medium bermaaf-maafan kepada karyawan dan bawahannya. Begitu sebaliknya.  Tradisi ini juga dikembangkan dengan menggelar kegiatan khusus berupa pengajian dan mendatangkan penceramah untuk memberi tausiyah atau pesan-pesan agama.  Makna halal bihalal lebih dekat dengan pengertian saling memaafkan atas segala salah dan khilaf agar bisa kembali menjadi manusia suci. 

Penggagas istilah "halal bi halal" ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.  Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Lalu Bung Karno menjawab, "Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain".
"Itu gampang", kata Kiai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'", jelas Kiai Wahab.
Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul 'Halal bi Halal' dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal Bihalal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah Halal Bihalal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.

Kalau kegiatan halal bihalal sendiri di wilayah Indonesia, kegiatan ini dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.  Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari kegiatannya. kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah "Halal bi Halal", meskipun esensinya sudah ada.
Tapi istilah "halal bi halal" ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
(disadur dari tulisan KH Masdar Farid Mas’udi, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di NU Online)

Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konfik politik yang berpotensi memecah belah bangsa. Hingga secara filosofis pun, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturrahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut.

Kini, halal bihalal yang dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturrahim. Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang. Begitu pun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf sehingga maaf-memaafkan mewujudkan Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa yang suci tanpa noda bekas luka di hati.
Dengan demikian, ditegaskan bahwa bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.

Oleh karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahannya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya.

Lantas bagaimana dengan penjelasan para “ustadz” baru yang mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an atau Hadis tidak ada sebuah penjelasan tentang halal bihalal?  Istilah itu memang khas Indonesia. Bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia, walaupun mungkin yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab. Mengapa? Karena istilah tersebut juga muncul secara historis dan filosofis oleh Kiai Wahab untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang dilanda konflik saudara sehingga harus menyajikan bungkus baru yang menarik agar mereka mau berkumpul dan menyatu saling maaf-memaafkan.

Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Pakar Tafsir Al-Qur’an asal Indonesia Prof. Muhammad Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an, 1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah yang digagas Kiai Wahab Chasbullah tersebut. Pertama, dari segi hukum. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal akan memberikan kesan bahwa acara tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.  Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum menjadikan sikap kita yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.

Masih dalam tinjauan hukum. Menurut para pakar hukum, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, “Apakah yang dimaksud dengan istilah halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh?  Secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama, walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, dan dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala. Atas dasar pertimbangan terakhir ini, Prof. Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah khas Indonesia itu (halal bihalal), dengan pengertian atau tinjauan hukum. Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antarsesama.

Kedua, tinjauan bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbaga bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.  Dengan demikian, jika kita memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturrahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

Ketiga, tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan.  Kesan yang berupaya dijewantahkan Kiai Wahab Chasbullah di atas lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antara anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif. (Fathoni Ahmad, Unusia)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat pun membolehkan kegiatan halal bihalal umat Islam yang dilakukan setiap perayaan Idul Fitri dan menegaskan kegiatan itu bukanlah bid'ah. Namun, kegiatan tersebut bisa menjadi haram jika dilakukan dengan cara-cara yang dilarang agama.

Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Hasanuddin AF mengatakan halal bihalal termasuk dalam kategori muamalah dan segala sesuatu dalam muamalah hukum asalnya adalah boleh.

"Segala sesuatu hukumnya asalnya mubah. Segala sesuatu dalam muamalah adalah boleh, lampu hijau. Kecuali kalau ada nash syar'i (Alquran dan sunah) yang melarang secara tegas baru lampu merah di situ," Masih menurut beliau, halal bihalal mempunyai manfaat yang sangat besar dalam menjaga hubungan baik antar sesama umat Islam, sesama warga, dan sesama rekan kerja di kantor.
Nah itu kan bermanfaat kecuali kalau di situ ada hal yang melanggar agama. Ada hiburan misalnya, yang artisnya membuka aurat kemana-mana dan lagunya lagu jingkrak-jingkrak, baru halal bihalalnya haram itu,".

Menurut Prof. Hasanuddin, selama ini MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa terkait halal bihalal karena memang tidak perlu difatwakan. Menurut beliau, sesuatu yang perlu difatwakan tersebut jika memang ada masalah dan tidak jelas hukumnya, sedangkan sampai saat ini masyarakat tidak pernah mempermasalahkan halal bihalal.
"Masyarakat juga tidak ada yang nanya tentang fatwa halal bihalal. Kalau ada yang nanya kita jawab itu kalau ada yang minta fatwa. Fatwa itu kan jawaban dari pernyataan masyarakat siapa pun,".

Walhasil, kumpul setelah sholat Ied dengan tujuan bersilaturrahim dan saling memberi maaf dengan niat yang baik ya tentunya baik juga, masa giliran reuni SMA (atau reuni santri belajar di Yaman) niat banget didatengin dengan alesan yang belum tentu baik karena bisa aja niatnya ya ketemu mantan...ciee..cieee....terus pas giliran halal bihalal malah dihukumi bid'ah, ya ndak bener toh.  Jadi halal bihalal ya monggo saja, Insya Allah niat yang baik yang diwujudkan dengan perbuatan yang baik itu menjadi barokah buat semuanya.

Sekarang mari kita lanjutkan pembahasan yang kedua, tentang ucapan minal aidin wal faizin.

UCAPAN MINAL AIDIN WAL FAIZIN

Jadi asalnya dari mana lagi nih ucapan ini? Bid’ah apa nggak? Boleh gak kita mengucapkan itu kepada orang lain sambil meminta maaf, mohon maaf lahir batin? Apa kita berdosa dan bakal masuk neraka kalo ngucapin kalimat ini? Jika melihat popularitasnya, sama seperti halal bihalal, kalimat tersebut hanya khas dan populer juga di bangsa Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.  Coba aja ngucapin minal aidin wal faizin ke orang Arab sana, dijamin bingung mereka.  Hahaha…

Nah, jangan kaget, ternyata Presiden Soekarno juga dianggap sebagai sosok yang memopulerkan ungkapan ”Minal Aidin Wal Faizin” pada hari raya Idul Fitri. Kalimat ”Minal Aidin Wal Faizin” dalam menyambut Idul Fitri adalah kata yang diucapkan Soekarno pada tahun 1958.  Kalimat itu adalah penggalan sebuah doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yang berarti ”Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan.”

Dalam kitab Dawawin Asy-Syi’ri al-Arabi ala Marri Al-Ushur Jilid ke-19 halaman 182 disebutkan, kalimat minal aidina wal faizin ternyata merupakan petikan dari lantunan syair pada masa Andalusia.  Penyair bernama Shafiyuddin al-Huli membawakan sebuah syair yang mengisahkan dendangan kaum wanita pada hari raya. Petikan dari salah satu syairnya itu terdapat kalimat “Ja’alna minal ‘aidina wal faizina (jadikan kami dari orang-orang yang menang dan orang-orang yang beruntung).”

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, kalimat ini mengandung dua kata pokok: ‘aidin dan faizin (Ini penulisan yang benar menurut ejaan bahasa indonesia, bukan aidzin, aidhin atau faidzin ,faidhin. Kalau dalam tulisan bahasa arab:
من العاءدين  والفاءيزين

Yang pertama sebenarnya sama akar katanya dengan ‘Id pada Idul Fitri.  ‘Id itu artinya kembali, maksudnya sesuatu yang kembali atau berulang, dalam hal ini perayaan yang datang setiap tahun. Sementara Al Fitr, artinya berbuka, maksudnya tidak lagi berpuasa selama sebulan penuh. Jadi, Idul Fitri berarti “hari raya berbuka” dan ‘aidin menunjukkan para pelakunya, yaitu orang-orang yang kembali (ada juga yang menghubungkan al Fitr dengan Fitrah atau kesucian, asal kejadian).
Sementara faizin berasal dari kata fawz yang berarti kemenangan. Maka, faizin adalah orang-orang yang menang.  Menang di sini berarti memperoleh keberuntungan berupa ridha, ampunan dan nikmat surga. Sementara kata “min” dalam “minal” menunjukkan bagian dari sesuatu.
Sebenarnya ada potongan kalimat yang semestinya ditambahkan di depan kalimat ini, yaitu  ja’alanallaahu (semoga Allah menjadikan kita). Jadi selengkapnya kalimat minal ‘aidin wal faizin bermakna (semoga Allah menjadikan kita) bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah).

Jadi gimana dong? Kan ada tuh yang beredar di grup WA bahwa itu keliru luar biasa sambil mempertanyakan maksud kembali itu kembali kemana dan merayakan kemenangan apa?

Minal 'Aidin wal Faizin dalam bahasa Indonesia berarti "Semoga kita termasuk orang yang kembali dan menuai kemenangan".  Memang kalimat itu tidak lengkap redaksinya.  Saya akan jelaskan redaksi lengkapnya di bawah.  Tapi, kita yakin sekali bahwa siapapun yang mengucapkannya tidak akan memaknainya "kembali pada kemaksiatan pasca Romadlon, meraih kemenangan atas bulan Romadlon sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan".  Kalau ada yang memaknai dengan maksud seperti itu ya keterlaluan sekali lah.  Pukulin aja pake pentungan kalo ada yg memaknai kayak gitu.  Pun, jangan memaknai Minal 'Aidin Wal Faizin' dengan 'Mohon Maaf Lahir Batin', hanya karena biasanya dua kalimat itu beriringan satu sama lain. Itu sama saja dengan 'membahasa-Inggriskan' keset dengan welcome, dengan alasan tulisan itu biasanya ada di keset.  Redaksi lengkap kalimat tersebut adalah "Ja'alanallahu wa iyyakum MINAL 'AIDIN ilal fithrah WAL FAIZIN bil jannah" (Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga).  Jadi jangan khawatir, makna kalimat tersebut nyatanya bukan kembali ke perbuatan maksiat dan menang karena telah menaklukkan Romadlon seperti yang biasa ditemui di broadcast2 di grup WA itu.

Selanjutnya kita harus faham bahwa tanda orang yang diterima ibadahnya adalah ia makin meningkatkan ketaatan dan makin meninggalkan kemaksiatan (min 'alamati qabulit-tha'ah fa innah tajurru ila tha'atin ukhra).  Apalagi yang dituju setelah Romadlon adalah nilai fithrah manusia yang dibebaskan dari dosa-dosanya dan memulai lembaran baru yang bersih.  Kapan memulai lembaran baru yang bersih itu? Ya kalau sudah fitri.

Lantas apa maksud dan apa makna fitrah? Setidaknya ia memiliki dua makna: Islam dan kesucian.

Makna pertama diisyaratkan oleh hadits (artinya): "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia (sebagai/seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi."  Sisi pengambilan kesimpulan hukum atau wajh al-istidlal-nya, Nabi telah menyebutkan agama-agama besar kala itu, namun Nabi tidak menyebutkan Islam.  Maka fitrah diartikan sebagai Islam.  Dengan ujaran lain, makna kembali ke fitrah adalah kembali ke Islam, kembali pada ajaran, akhlak, dan keluhuran budaya Islam.

Makna fitrah yang kedua adalah kesucian. Makna ini berdasarkan hadits Nabi (artinya), "Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, mencabut/menghilangkan bulu ketiak, dan memotong kuku." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima macam fitrah ini semuanya kembali pada praktik kebersihan dan kesucian. Dapat disimpulkan kemudian bahwa makna fitrah adalah bersih dan suci.  Minal 'Aidin ilal fithrah, berarti kita mengharap kembali menjadi orang bersih dan suci. Dengan keyakinan pada hadits Nabi, orang yang shiyam dan qiyam (berpuasa dan menghidupkan malam) di bulan Ramadhan, karena iman dan semata mencari ridha Allah, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Harapannya, semoga kita seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibu, bersih-suci dari salah dan dosa. Amin.  Sementara panjatan doa "Semoga kita menuai kemenangan dengan meraih surga - Wal Faizin bil jannah", sangat terkait dengan tujuan puasa Ramadhan dan happy ending bagi orang yang berhasil membuktikan tujuan itu.  Dalam al-Baqarah ayat 183 dijelaskan bahwa tujuan puasa Ramadhan adalah 'agar kalian bertakwa (la'allakum tattaqun)'.  Sedangkan Surat al-Hijr ayat 45 dan Ali Imran ayat 133 menjelaskan, bagi orang bertakwa itu hadiahnya adalah surga.  Ringkasnya, puasa berdampak takwa. Takwa berhadiah surga.  Hal inilah yang menjadi harapan orang yang berpuasa Ramadhan.  Ia ingin dijadikan sebagai orang bertakwa dengan sebenarnya, dan mengharap menjadi salah satu penghuni surga.  Itulah makna kemenangan yang terucap dalam 'wal faizin' itu.  Bukan kemenangan atas Romadlon, sehingga bebas melakukan keburukan karena merasa sudah 'menang'!

MEMINTA MAAF SAAT IEDUL FITRI

Selanjutnya bagaimana dengan orang yang minta maaf di hari Raya, seolah-olah meminta maaf itu hanya di hari raya saja, dan tidak dilakukan di hari lain.  Dalam hal ini insya Allah kita semua tahu bahwa meminta maaf itu tidak dikhususkan pada hari Raya Idul Fitri saja. Kan kalo senggolan di angkot aja manusia Indonesia itu sudah otomatis minta maaf.  Nggak ada kan orang di Indonesia yang senggolan di kereta terus bilang "Saya mau minta maaf, tapi karena belum lebaran ya minta maafnya nanti aja ya pas lebaran".  Jadi, hakekatnya mereka mengerti bahwa meminta maaf itu ya kapan saja.  Tapi, mengucapkan mohon maaf pada saat Hari Raya Iedul Fitri ini adalah ikhtiar untuk kesempurnaan ibadah.  Islam agama paripurna. Tidak sempurna iman seseorang sampai dua sisi tali hablun minallah dan hablun minannas sama-sama dikuatkan. Dalam sekian hadits dijelaskan misalnya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, 'hendaknya dia menghormati tamunya', 'hendaknya dia mengatakan yang baik atau diam', dan seterusnya.

Surat al-Ma'un juga menjelaskan, pendusta hari pembalasan itu orang yang menolak anak yatim dan tidak memperdulikan orang miskin. Shalat itu tanha 'anil fahsyaa-i wal munkar.  Zakat atau sedekah itu tuthahhiruhum wa tuzakkihim biha.  

Jadi kita harus gimana dong? Ngucapin Taqabbalallahu minna wa minkum aja? Kaya ada yang kurang deh...

Riwayat yang menjelaskan ucapan 'Taqabbalallahu Minna wa Minkum' dituturkan oleh Muhammad bin Ziyad. Ia menceritakan kejadian kala bersama Abu Umamah al-Bahili dan lainnya dari sahabat Rasulullah SAW. Syahdan, sepulang dari Shalat Id, mereka saling mengatakan,
   تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنّ وَمِنْكَ

Imam Ahmad menjelaskan, sanad hadits Abu Umamah ini Jayyid. Ali bin Tsabit berujar,

"Aku bertanya pada Malik bin Anas sejak 35 tahun. Dia menjawab, 'Hal (ucapan) ini selalu ditradisikan di Madinah." 

Dalam Sunan al-Baihaqi disebutkan, 
Diriwayatkan dari Khalid bin Ma'dan, ia berkata, "Aku bertemu Watsilah bin Asqa' pada hari Raya. Aku katakan padanya: Taqabbalallahu minna wa minka. Watsilah menanggapi, 'Aku pernah bertemu Rasulullah SAW pada hari raya, lantas aku katakan 'Taqabbalallahu minna wa minka'. Beliau menjawab, 'Ya, Taqabbalallahu minna wa minka."

Kedua riwayat ini memberikan benang merah, ucapan 'Taqabbalallahu minna wa minka' merupakan bacaan yang disyariatkan (masyru') dan hukum mengucapkannya sunnah. 


Lantas apakah ucapan lain seperti minal aidin wal faizin itu keliru sehingga tidak boleh? 

Ucapan selamat atau tahniah atas datangnya momen tertentu bisa saja merupakan tradisi atau adat. Sementara hukum asal suatu adat adalah boleh, selagi tidak ada dalil tertentu yang mengubah dari hukum asli ini. Kaidah ushul fiqh madzhab Syafi'i ini juga sejalan dengan madzhab Imam Ahmad bin Hambal. Mayoritas ulama menyatakan, ucapan selamat pada hari raya hukumnya boleh (lihat: al-Adab al-Syar'iyah, jilid 3, hal. 219). 
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, ucapan selamat (tahniah) secara umum diperbolehkan, karena adanya nikmat, atau terhindar dari suatu musibah, dianalogikan dengan validitas sujud syukur dan ta'ziyah (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 14, hal 99-100).

Ucapan selamat hari raya banyak difatwakan oleh para ulama bahwa hukumnya adalah boleh. Dan redaksi antar negara Muslim berbeda-beda. Kesemuanya bertujuan saling hormat dan doa.
Disebutkan dalam kitab al-Mausuah yang mengutip dari Ibnu Amir Haj, bahwa: “Pendapat yang kuat bahwa ucapan selamat hari raya adalah boleh dan dianjurkan secara umum. Kemudian Ibnu Amir Haj menampilkan beberapa riwayat sahabat, dan yang berlaku di Syam dan Mesir adalah “Hari Raya yang berkah bagi anda / ’Ied Mubarak”, dan sebagainya. Ia berkata: “Dimungkinkan untuk disamakan dengan kalimat diatas di dalam anjuran dan disyariatkan mengucapkan hari raya, karena keduanya saling berkaitan”

Dengan demikian, tidak ada larangan mengucapkan hari raya dengan ucapan yang mengarah kepada tujuan dengan berbagai redaksi yang terdapat dalam pertanyaan atau yang lain, yang terdiri dari kalimat-kalimat serupa. Baik berupa ‘Setiap tahun semoga anda dalam kebaikan’ dan sebagainya” (Fatwa Asy-Syabkah Al-Islamiyah 5/2192)

Di Indonesia, redaksi yang sudah lazim dan mentradisi adalah Minal Aidin wal Faizin. Ucapan seperti ini diperbolehkan bahkan oleh Mufti Wahabi Syekh Bin Baz yang dimuat pada Fatwa Lajnah Daimah 7/155-156 : Boleh menyembelih hewan di hari raya Idul Fitri untuk memuliakan tamu yang datang berkunjung kepada mereka namun sekedar makanan yang mencukupi bagi tamu tanpa berlebihan dan sombong. Sedangkan ucapan selamat di antara sesama umat Islam di hari raya dengan redaksi diatas yang terdapat dalam pertanyaan (mengucapkan minal aidin wal faizin) adalah boleh, karena didalamnya termasuk mendoakan terhadap sesama muslim agar amalnya diterima, panjang umur, hidup bahagia dan sebagainya dan hal itu tidaklah dilarang.
(Ma’ruf Khozin, Aswaja Center PWNU Jatim)

Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap ucapan baik, apalagi merupakan doa, dalam momen nikmat atau bahkan musibah, adalah sesuatu yang boleh, bahkan baik untuk dilakukan. Dengan kalam lain, ucapan di Idul Fitri yang terbaik memang 'taqabbalallahu minna wa minkum'.  Namun bukan berarti doa dan ucapan lain yang berupa tahniah Idul Fitri itu tidak diperbolehkan atau tidak baik.  Rasulullah selalu mencontohkan dan menganjurkan kita berbuat baik dan menjaga lisan yang baik.  Kesepakatan Ulama adalah bila ada yang mengucapkan sesuatu yang baik atau doa yang baik walaupun redaksi kalimatnya tidak dicontohkan langsung oleh Rasulullah ya dihukumi sunnah.  Banyak riwayat yang menceritakan adanya sejumlah perbuatan dan doa sahabat yang tidak diajarkan oleh Rasulullah justru mendapat nilai yang sangat baik dimata Allah yang kemudian disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabat.

***

Dus, dari sekian penjelasan baik dari al-Qur'an maupun Sunnah itu, akhirnya sebagai seorang muslim, kita harus memahami keberadaan misi kebaikan secara vertikal dan horizontal. Siapa yang mengaku bertauhid, harus baik pula dalam wilayah sosial. Kalau puasa Romadlon adalah misi kebaikan secara vertikal, mengapa kemudian untuk bersilaturahmi dan minta maaf pasca Romadlon sebagai ranah sosial dilarang?

Kemudian ada lagi ustadz yang bilang bahwa hal itu merupakan tradisi masa lalu dimana masyarakat Indonesia saat itu belum faham soal aturan hukumnya jadi ndak apa-apa, nah, sekarang kan sudah faham ya hendaknya ditinggalkan lah yang tidak syar'i seperti itu.  Ustadz ini rupanya lupa dengan qaidah ushul fiqh lain yang berbunyi "al mukhafadlotu 'ala qadimis sholih, wal akhdu bil jadiidil ashlakh" yang berarti "menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik".  Jadi, kalau tradisi lama itu sudah baik ya tidak perlu ditinggalkan, cukup ditambahkan saja dengan kesesuaian masyarakat atas hal yang lebih baik.  Bila selama ini halal bihalal dan mengucap minal aidin wal faizin sambil meminta maaf itu sudah menjadi tradisi umat Islam Indonesia dan terbukti menyatukan bangsa kita, kenapa harus dilarang dan dirubah? Bahkan sampai membid'ah-bid'ah kan orang lain dan bikin takut orang Islam sendiri yang sebenernya merupakan hal gak perlu dan bisa dihindari. Kenapa? Karena akhirnya malah jadi ngrusuhi dan bikin rame, seolah-olah apa yang diajarkan dan dilakukan Kyai-kyai dulu di kampung dan pesantren itu hal yang salah dan gak syar'i alias gak Islami.  Padahal kan kalo para "ustadz" baru itu emang mau pamer ilmu ndalil ya ngoreksinya kan tinggal bilang :  iya gak apa-apa halal bihalal dan ngucapin minal aidin wal faizin sambil minta maaf, cukup ditambahi saja dengan ucapan yang lebih afdol.

Dengan penjelasan panjang lebar diatas, saya harap saudara-saudaraku tidak perlu khawatir untuk melaksanakan halal bihalal saat lebaran nanti dan tidak perlu juga takut untuk kirim text minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin (terutama kepada calon mertua lho, *bagi yang masih jomblo)…

Kata Sudrun .."Naaah...gini kan lebih enak toh Mas, gak bikin ribut dan gak mengkelirukan orang lain.  Wong gak ada yang keliru koq..."


Wallahu a'lam bish showab

***

Akhirul kalam, perkenankan saya dan keluarga mengucapkan : 

Selamat Hari Raya ‘Idul Fitri 1439 H,
Taqabbalallahu minna wa minkum
Shiyamana wa shiyamakum
Ja’alanallahu wa iyyakum
Minal ‘aidin ‘ilal fithrah
Wal faizin bil jannah
Mohon maaf lahir batin atas segala kekhilafan



***


Sudrun nanya lagi
“Mas, aku boleh ngundang dangdut koplo Pantura buat halal bihalal gak?”
“Mas Drun, ngundang Sabyan gambus atau Mbak Tomim Safitri ae…”
“Waduh Mas…angel tenan iku…”
“Ra popo, tambah berat ikhtiare kan tambah gede pahalane..”
“Yo wis, qosidahane Mbakyuku ae lah…”
“Pancen gak niat sampeyane…”
“Ben..lagi poso..lemes aku”




Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA