Getirnya Kehidupan Islami di Tanah Ini

Kembali mata bangsa Indonesia harus menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh saudara sebangsa. Kembali air mata harus membanjiri pelupuk mata puluhan, ratusan atau bahkan ribuan mereka yang menjadi korban kekerasan atas nama agama. Pihak-pihak yang merasa dirinya berpendidikan tinggi sibuk mencari jawaban atas apa yang terjadi. Sementara video rekaman kekerasan itu sudah beredar kemana-mana.

Saya koq terkesan dengan orang-orang yang sibuk berteriak Allahu Akbar dan membantai orang yang bahkan sudah terdiam kaku di tanah atau sibuk membakar dan menghancurkan fasilitas umum dan tempat ibadah umat lain. Apa ya sudah sedemikian besarnya dosa si korban atau sedemikian jahatnya umat lain terhadap kita dan sedemikian bersihnya diri si pembantai untuk melakukan pembalasan yang lebih kejam itu. Sebagai orang Islam saya kembali teringat akan ajaran untuk mengasihi sesama dan bahkan terhadap orang yang berkeyakinan lain.

Dalam pandangan saya, sebagian umat Islam di negeri kita ini terlalu mudah mengkafirkan orang lain, mengatakan orang lain syirik dan menghalalkan darah orang lain bahkan bila berbeda faham sedikit saja.




Saya kutipkan fatwa tentang takfir (pengafiran / mengkafirkan orang lain) dan tindakan kekerasan yang mengatas namakan agama dari beberapa tokoh 'Ulama dan Majlis Hai'ah Kibaril 'Ulama sbb :

Penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi
Tidak selayaknya bagi anda wahai faqih (ahli fikih), untuk tergesa-gesa mengafirkan seorang muslim, kecuali dengan bukti yang nyata. Sebagaimana anda tidak boleh berkeyakinan kearifan dan kewalian seorang yang telah nyata kesesatannya, tersingkap batin dan kemunafikannya. Tidak boleh dilakukan ini ataupun itu, yang benar adalah selalu bersikap adil, yaitu: orang yang telah dinilai oleh kaum muslimin sebagai orang saleh dan baik, maka dia demikian adanya karena mereka adalah para saksi Alloh di dunia, dan orang yang dinilai oleh umat Islam sebagai orang yang durhaka, munafik, orang batil, maka dia demikian adanya.

Sedangkan orang yang divonis sesat oleh satu kelompok, sedangkan kelompok lain memuji dan mengagungkannya, dan kelompok lain lagi enggan untuk berkomentar dan berhati-hati, tidak berani untuk mendiskreditkannya, maka kasus seperti ini termasuk polemik yang harus dijauhi, duduk masalahnya kita serahkan kepada Alloh dan dimintakan ampun baginya secara umum. Sebab keislamannya diyakini keberadaannya, sedangkan kesesatannya masih diragukan. Dengan ini anda akan hidup tenang, hati anda suci dari rasa iri terhadap kaum muslimin.
Ketahuilah bahwa seluruh ahlul kiblah (kaum muslimin dengan berbagai alirannya), baik mukmin, fasik, sunni maupun seorang ahli bid’ah -selain para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak pernah ada kesepakatan (ijma’) tentang seseorang muslim, bahwa ia sebagai orang yang berbahagia lagi selamat (dari neraka) dan tidak juga bahwa ia sebagai sosok yang celaka lagi binasa.

Sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq seorang tokoh tanpa tandingan dari umat ini, anda tahu bahwa manusia tidak sepakat tentang beliau. Demikian juga halnya Umar, Utsman, Ali, Ibnu Zubair, Al Hajjaj, Al Makmun, Bisyr Al Mirrisi, Imam Ahmad, Syafii, Bukhari, An Nasa’i dan seterusnya, baik dari figur-figur baik maupun tokoh-tokoh jahat hingga hari ini. Tidak ada seorang panutan dalam kebaikan kecuali pasti ada oknum-oknum dari orang-orang bodoh dan ahli bid’ah yang mencela dan menjelek-jelekannya. Juga tidak ada seorang gembong dalam aliran Jahmiyyah maupun Syi’ah, melainkan pasti ada sekelompok orang yang akan membela, dan melindungi, serta menganut pemahamannya, tentunya atas dorongan hawa nafsu dan kebodohan. Tolok ukur sebenarnya adalah pendapat mayoritas kaum muslimin, yang bebas dari pengaruh hawa nafsu dan kebodohan (netral), yang berhati-hati lagi berilmu.

Penjelasan Hai’ah Kibaril Ulama’
Segala puji hanya milik Allah, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya serta orang yang mengikuti jalan beliau. Amma ba’du:
Majlis Hai’ah Kibaril Ulama’ pada rapat ke-49, yang berlangsung di Taif mulai 2/4/1419 H, telah mempelajari berbagai tragedi yang terjadi di banyak negara-negara islam dan lainnya, yang berupa pengafiran, dan pengeboman, serta kerugian yang ditimbulkan oleh hal tersebut, berupa pembunuhan dan pengrusakan sarana umum.
Menimbang betapa bahayanya perkara ini, dan akibatnya, yang berupa pembunuhan orang tak bersalah, pengrusakan harta benda yang dilindungi, menimbulkan rasa takut, mengganggu stabilitas keamanan dan kedamaian masyarakat, maka Majelis menganggap perlu untuk mengeluarkan penjelasan tentang hukum tindakan tersebut, dalam rangka menasihati untuk Allah dan untuk hamba-Nya, menunaikan tanggung jawab, menghilangkan kesamar-samaran dalam pemahaman, maka kami katakan -wa billahit taufiq-:

Pertama:
Takfir (pengafiran) adalah hukum syar’i, rujukannya adalah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana halnya menghalalkan, mengharamkan dan mewajibkan adalah hak Allah dan Rasul-Nya, demikian pula dengan pengafiran.
Tidaklah setiap perkataan atau perbuatan yang disifati dengan kekufuran adalah kufur besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Dan karena rujukan hukum pengafiran adalah Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh bagi kita untuk mengafirkan, kecuali orang yang jelas-jelas telah dikafirkan oleh Al Quran dan As Sunnah, tidak cukup hanya sekedar syubhat atau prasangka belaka, karena hal ini memiliki konsekuensi hukum yang besar.


Apabila hukum hudud (pidana) harus dibatalkan dengan sebab adanya syubhat,-walaupun akibatnya lebih ringan dari pada takfir-, maka takfir lebih pantas untuk dibatalkan dengan sebab adanya syubhat.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dari menghukumi kafir orang yang bukan kafir, beliau bersabda:
أيما امرئ قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: ‘wahai orang kafir’, maka pengafiran itu pasti mengenai salah seorang dari mereka, jika betul apa yang ia katakan (maka habis perkara-pent) jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. Bukhory, pada kitab: Al Adab Bab: “Barang siapa yang mengafirkan saudaranya tanpa ada alasan, maka ia seperti ucapannya sendiri” no: 6104, dan Muslim, pada kitab Al Iman, Bab: “Penjelasan tentang keimanan seseorang yang mengatakan kepada saudaranya orang muslim, wahai orang kafir” no: 60)

Kadang ada dalam Al Quran dan As Sunnah dalil yang dapat dipahami bahwa perkataan atau perbuatan atau keyakinan tertentu adalah kekafiran, akan tetapi pelakunya tidak kafir dengan sebab adanya penghalang dari pengafiran.
Hukum ini selayaknya hukum-hukum lainnya, tidak dapat sempurna kecuali jika terpenuhi sebab-sebab dan syarat-syaratnya, serta telah hilang penghalangnya, seperti dalam hukum warisan, sebabnya adalah kekerabatan -sebagai contoh-, kadang kala ia tidak dapat mewarisi, disebabkan adanya penghalang, yaitu perbedaan agama, demikian juga halnya dengan pengafiran, seorang mukmin dipaksa untuk berbuat kekafiran, maka ia tidak kafir karenanya.
Seorang muslim kadang kala mengucapkan kata-kata kafir, karena hanyut oleh kegembiraannya atau karena marah, atau yang lainnya, maka dia tidak dikafirkan karenanya, karena tidak sengaja mengucapkannya, seperti dalam kisah orang yang mengatakan: “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu, dia salah (ucap) karena sangat gembira.” (HR. Muslim, pada kitab: At Taubah, Bab: “Anjuran untuk bertaubat dan gembira dengan taubat” no: 2747)

Tergesa-gesa dalam mengafirkan, akan mengakibatkan banyak masalah, seperti penghalalan darah dan harta, mencegah hak warisan, pembatalan pernikahan, dan hukum-hukum lainnya bagi orang murtad. Lalu bagaimana seorang mukmin berani untuk melakukannya, hanya karena ada sedikit syubhat?!
Dan apabila pengafiran itu ditujukan kepada pemerintah, maka ini lebih dahsyat akibatnya, karena akan mengakibatkan perlawanan, pemberontakan, kekacauan, pertumpahan darah, kerusakan pada masyarakat dan negeri.

Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk melawan pemerintah, beliau bersabda:

إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم فيه من الله برهان
“… kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki bukti dari Allah.”
Sabda beliau: “kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata.” memberi faedah bahwa tidak cukup sebagai alasan prasangka dan isu, dan sabda beliau “kekufuran” bahwa tidak cukup sebagai alasan, perbuatan kefasikan -walaupun besar- seperti kezaliman, minum khamar, bermain judi atau mengerjakan yang haram. Dan sabda beliau “yang nyata” bahwa tidak cukup sebagai alasan, kekafiran yang tidak jelas atau nampak. Dan sabda beliau “dan kalian memiliki bukti dari Allah” yaitu harus ada dalil yang jelas, yang shohih, berhubungan langsung dengan permasalahan, sehingga tidak cukup dengan dalil yang lemah dan tidak berhubungan langsung. Dan sabda beliau “dari Allah” menunjukkan bahwa tidak ada artinya perkataan seorang ulama’, bagaimanapun tingkat ilmu dan amanahnya, jika perkataannya itu tidak dilandasi oleh dalil yang jelas dan shohih dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan akan bahayanya perkara ini.
Kesimpulannya: tergesa-gesa dalam mengafirkan sangat besar bahayanya, karena firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُون
“Katakanlah sesungguhnya Rabbku mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, dan permusuhan tanpa kebenaran, dan untuk kamu berbuat syirik kepada Allah yang tidak pernah diturunkan keterangan padanya, serta untuk kamu berkata atas nama Allah dengan apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A’raaf: 33)

Kedua:
Akibat yang dihasilkan oleh keyakinan menyeleweng ini, berupa penghalalan darah, pelecehan kehormatan, perampasan harta benda, baik milik perorangan atau umum, peledakan pemukiman dan kendaraan, pengrusakan sarana umum, seluruh perbuatan ini dan sejenisnya seluruh kaum muslimin sepakat akan keharamannya dalam syariat. Karena semuanya mengandung pengrusakan harta benda, mengganggu stabilitas keamanan, dan kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram, serta pengrusakan sarana umum, yang dibutuhkan oleh setiap orang.
Islam telah melindungi harta, kehormatan, dan badan kaum muslimin, serta mengharamkan untuk dilanggar, dan sangat menekankan akan keharamannya.

Bahkan wasiat akhir yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu haji wada’, beliau bersabda:

فإن دماءكم وأموالكم عليكم حران كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا إلى يوم تلقون ربكم ألا هل بلَّغت؟ قالوا: نعم، قال: اللهم اشهد. متفق عليه
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram di antara kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di bulan ini, dan di tempat ini,” kemudian beliau bersabda: “Apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Ya Allah saksikanlah.” (Telah lalu takhrij hadits ini)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
كل المسلم على المسلم حرام ماله وعرضه ودمه
“Setiap orang muslim diharamkan atas muslim yang lainnya, darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2564)
Dan beliau juga bersabda:
اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة
“Hati-hatilah kalian dari kezaliman karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan di hari kiamat.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2578)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mengancam orang yang membunuh jiwa yang dilindungi dengan seberat-berat ancaman, Allah berfirman tentang perbuatan membunuh seorang mukmin:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam dia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya serta melaknatnya dan Dia menyediakan baginya adzab yang pedih.” (Qs. An-Nisa’: 93)
Dan Allah berfirman tentang perbuatan membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan orang muslim, yang dilakukan dengan tidak sengaja:
فَإِنْ كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنُُ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Jika yang terbunuh itu dari orang-orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan kalian maka si pembunuh itu membayar diyah kepada keluarga yang terbunuh itu dan memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (Qs. An-nisa’: 92)
Apabila seorang kafir yang memiliki perjanjian damai bila dibunuh dengan tidak sengaja, si pembunuh harus membayar diyah dan kafarohnya, maka bagaimana halnya jika dia dibunuh dengan sengaja? maka kejahatannya lebih besar dan dosanya lebih berat.
Dalam hadits shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pernah bersabda:
من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة
“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan, maka dia tidak akan dapat mencium bau surga.” (HR. Bukhory pada kitab: Al Jizyah, Bab: “Dosa pembunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dengan tanpa alasan” no: 3166)


Ketiga:
Sesungguhnya Majelis, di samping menjelaskan hukum mengafirkan manusia tanpa bukti dari Al Quran dan As Sunnah dan bahaya mengucapkan hal ini, dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, berupa kejelekan dan pengaruh buruk, Majelis juga menyatakan kepada dunia internasional, bahwa agama Islam berlepas diri dari ideologi menyeleweng ini, dan tragedi yang terjadi di sebagian negara, berupa penumpahan darah orang-orang yang tak berdosa, peledakan rumah-rumah, kendaraan, prasarana umum dan perorangan, serta pengrusakan kantor instansi pemerintahan, adalah perbuatan jahat dan Islam berlepas diri darinya.

Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, berlepas diri darinya dan sesungguhnya tindakan tersebut adalah perbuatan orang yang telah menyimpang pemikirannya, yang sesat akidahnya, sehingga hanya dialah yang menanggung dosa dan kejahatannya. Tindakannya tidak bisa anggap bagian dari ajaran agama Islam, dan juga tidak dapat dinisbatkan kepada kaum muslimin yang menjalankan ajaran Islam, yang berpegang dengan Al Quran dan As Sunnah. Tindakan tersebut murni sebagai tindak pengrusakan dan kejahatan yang ditentang oleh syariat islam dan fitrah.
Oleh karena itu banyak dalil-dalil syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan kita dari berkawan dengan pelakunya.

Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي اْلأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan di antara sebagian manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dia persaksikan kepada Allah atas kebenaran isi hatinya padahal dia penentang yang sangat keras, dan apabila dia berpaling dia berjalan di atas bumi dengan membuat kerusakan di dalamnya dan membinasakan tanaman serta hewan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.” (Qs. Al Baqoroh: 204-206)
Dan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, adalah saling nasihat-menasihati dengan kebenaran, bahu membahu di atas kebaikan, ketakwaan, amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara yang bijak, pelajaran yang baik, dan diskusi yang kondusif, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah sangat pedih siksaan-Nya.” (Qs. Al Maaidah: 2)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
“Dan orang-orang beriman yang laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, merekalah yang mendapat rahmat Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At Taubah: 71)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
َالْعَصْرِ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر
“Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Qs. Al Ashr: 1-3)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدين النصيحة. قلنا: لمن؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama itu adalah nasihat.” Kami (para sahabat) berkata: “Untuk siapa ya Rasulullah?” beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin -secara umum-.” (Telah lalu takhrij hadits ini)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مثل المؤنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
“Permisalan kaum mukminin dalam sikap cinta mencintai, kasih mengasihi dan persatuan mereka, bagaikan satu tubuh, jika salah satu organnya mengeluh sakit, niscaya seluruhnya turut demam dan gelisah.” (Telah lalu takhrij hadits ini). Ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali.

Kami mohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar menjaga seluruh kaum muslimin dari kejelekan, dan menunjukkan semua pemimpin kaum muslimin kepada setiap hal yang mendatangkan kebaikan bagi rakyat dan negara, dan semoga Allah menghancurkan kerusakan dan pelakunya. Dan semoga Allah menolong agama dan meninggikan kalimat-Nya, serta memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, dan menolong kebenaran dengan mereka, sesungguhnya Dialah Penolong dan Yang Kuasa atasnya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan atas Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Hai’ah Kibaril Ulama’
Berulang kali juga kita melihat di tanah air ini kekerasan yang berujung pada pengrusakan tempat ibadah umat agama lain. Kekerasan itu tampaknya terus terulang bagaikan sejarah yang mengulangi ceritanya. Padahal kita seringkali mendengar ungkapan "Belajarlah dari sejarah". Tetapi saya yakin bahwa banyak dari kita yang membaca sejarah namun tidak mengerti apa yang terjadi. Saya yakin sekali bahwa saudara-saudara kita yang terbutakan mata dunia dan mata hatinya oleh keberingasan itu tidak mempelajari sejarah. Untuk itu saya kutipkan sepenggalan kisah sejarah yang melibatkan Khalifah Umar bin Khattab ra tentang toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Kisah Umar bin Khattab memasuki Yerusalem dan toleransi terhadap kaum Nasrani di sana.
Pada tahun 15 H (535 M) Khalifah Umar bin Khattab berhasil menaklukkan Kerajaan Romawi (Rum) yang saat itu menguasai Palestina dan memasuki Yerusalem. Ketika memasuki Yerusalem, Umar bin Khattab disambut oleh Uskup Agung Severinus dan diajak berkeliling untuk melihat peninggalan-peninggalan kuno yang ada serta melihat Kanisat al Qiyamah (Gereja Anastasis). Sementara kedua orang ini berada di dalam Gereja Anastasis, waktu shalat pun tiba. Uskup meminta kepada Umar untuk melaksanakan sholat di tempat itu karena itu juga rumah Tuhan. Tetapi Umar menolak dengan alasan di waktu-waktu yang akan datang khawatir jejaknya diikuti oleh kaum Muslimin karena mereka akan menganggap apa yang dikerjakan Umar itu sebagai teladan yang baik (sunnah mustahabbah). Dengan alasan yang sama Umar menolak sholat di Gereja Konstantin yang berada di dekat Gereja Anastasis. Umar kemudian sholat di tempat lain yaitu di dekat Batu Suci di reruntuhan Kuil Sulaiman dimana akhirnya oleh umat Islam didirikan Masjidil Aqsha yang dulu masih sangat sederhana tanpa merubuhkan dan menghancurkan kedua Gereja yang ada di dekatnya.
Umar bin Khattab r.a khawatir apabila dia mendirikan shalat di Gereja di Yerusalem maka perilaku nya kelak dijadikan teladan oleh kaum Muslimin lalu mereka yang lebih berhak (kaum Nasrani) akan menjadi terusir dan dikeluarkan dari kedua Gereja tersebut. Setelah itu Umar membuat perjanjian khusus dengan Uskup Agung Severinus agar Gereja yang ada itu hanya untuk kaum Nasrani dan jangan ada dari pihak Muslimin yang memasukinya lebih dari satu orang untuk satu kali. Sungguh suatu perwujudan bentuk toleransi yang luar biasa dari Al Faruq dalam memperlihatkan prinsip bahwa tak ada paksaan dalam agama sekaligus menunjukkan kebijakan kaum Muslimin pada saat itu dan keteguhannya berpegang pada prinsip kebebasan menganut suatu keyakinan. Prinsip Umar bin Khattab ra adalah "Berdakwah ke jalan Allah harus dilakukan dengan bijaksana dan pesan yang baik sehingga perselisihan apalagi pertumpahan darah bisa dihindari".

Bagaimana yang terjadi 15 abad kemudian di Indonesia? Merenungi apa yang terjadi di negara kita yang dibanggakan memiliki keunggulan budaya, sungguh bukan toleransi yang muncul tetapi keberingasan yang mencuat. Padahal umat Islam di Indonesia dalam keadaan tidak dizholimi, terancam, disiksa, tertekan atau dianiaya, bahkan oleh kelompok sempalan akidah seperti Ahmadiyah sehingga mencanangkan peperangan untuk membebaskan agama dari penindasan hanya menjadi alasan untuk menyalurkan emosi dan nafsu saja....tetapi mengapa pula seolah-olah mereka lupa keadaan sehingga mengedepankan amarah dan meninggalkan hakikat dirinya sebagai insan hamba Allah yang hidup bersama-sama dengan kelompok lain di muka bumi ini dimana seharusnya ada toleransi dalam kehidupan.

Saya kutipkan puisi karya Gus Mus yang cocok sekali dengan situasi yang sekarang terjadi di negara kita.

ALLAHU AKBAR
Allahu Akbar!
Pekik kalian menghalilintar
Membuat makhluk-makhluk kecil tergetar
Allahu Akbar!
Allah Maha Besar

Urat-urat leher kalian membesar
Meneriakkan Allahu Akbar
Dan dengan semangat jihad
Nafsu kebencian kalian membakar
Apa saja yang kalian anggap mungkar

Allahu Akbar, Allah Maha Besar!

Seandainya 5 milyar manusia
Penghuni bumi sebesar debu ini
Sesat semua atau saleh semua
Tak sedikit pun mempengaruhi
KebesaranNya

Melihat keganasan kalian aku yakin
Kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman
Yang kasih sayangNya meliputi segalanya
Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakanNya
Ketika dengan pongah kau melibas mereka
Yang sedang mencari jalan menujuNya?

Mengapa kalau mereka
Memang pantas masuk neraka
Tidak kalian biarkan Tuhan mereka
Yang menyiksa mereka
Kapan kalian mendapat mandat
Wewenang dariNya untuk menyiksa dan melaknat?

Allahu Akbar!

Syirik adalah dosa paling besar
Dan syirik yang paling akbar
Adalah mensekutukanNya
Dengan mempertuhankan diri sendiri
Dengan memutlakkan kebenaran sendiri.

Laa ilaaha illallah!

Gus Mus - 2005
Sungguh saat ini terasa betul getirnya kehidupan Islami di tanah Nusantara. Hilangnya kedamaian terkubur oleh keberingasan dan kekerasan yang terus menerus dilakukan atas nama agama.

Semoga bumi Nusantara menjadi bumi yang sejahtera dan damai bagi umat manusia.

Wallahu A'lam bis showab..

Comments

  1. Assalamu'alaikum wr. wb.
    Article anda dalam disertai dalil2 yg cukup komprehensif. Saya yang awam dalam ilmu agama merasa apa yang anda kemukakan cukup untuk para muslim agar tidak mudah mnegkafirkan orang lain. Namun Saya hanya akan sedikit menambahkan, bahwa kita punya PR Lain yaitu penindasan2 warga muslim di seluruh dunia. berbagai ketidakadilan inilah yang mungkin memicu sau dara2 kita bertindak anarkis, karena tidak ada jalur untuk menyampaikan aspirasi. Satu contoh saja kejadian ambon, dimana +- 1200 muslim dibantai di lapangan saat beribadah sholat Hari Raya Idul... (Ini adalah pemicu perang Ambon), sampai sekarang tak ada aktor intelektual yang tertangkap. masihkah kita hrus bersabar dan berkasih sayang?
    Semoga Negeriku tetap aman, damai sentosa.
    Wassalam.

    ReplyDelete
  2. Sesungguhnya yang terjadi di Ambon tidak pernah ada pembantaian saat sholat Ied...pemicu konflik di Ambon adalah permasalahan tanah dan permasalahan wanita yang berulang kali terjadi namun diselewengkan dengan nama agama oleh pihak2 tertentu agar menjadi konflik agama yang sayangnya benar2 terjadi akhirnya sebagai konflik agama. Dalam hal membantu ummat Islam yang tertindas di belahan dunia lain tentunya kita harus menyikapi dengan bijaksana dan tetap memberi bantuan serta mendoakan yang terbaik untuk mereka. Mengapa harus bijaksana? Karena konflik2 yang terjadi atas nama politik sesungguhnya bukan atas nama agama sehingga penyelesaiannya harus lebih mengedepankan jalur politik dan diplomasi internasional. Wallahu a'lam bish showab

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA