Gelar Pahlawan : Siapa Yang Mau?
Pada
beberapa hari terakhir ramai diperbincangkan oleh manusia-manusia Indonesia
terkait gelar pahlawan seseorang yang dianggap sebagai pahlawan. Kelompok Cendana dan para pendukungnya memperjuangkan
agar Pak Soeharto dianugerahi gelar pahlawan.
Pendukung Gus Dur menyesalkan kenapa gelar pahlawan bagi beliau ditunda
padahal telah disetujui oleh Dewan Gelar.
Adapula yang mempertanyakan kenapa salah satu tokoh pujaannya tidak
dianugerahi gelar pahlawan sedangkan yang lainnya sibuk menganalisa mengapa
salah satu tokoh justru diberi gelar pahlawan.
Kita
meyakini bersama bahwa para pejuang negeri ini telah berkorban dengan cara dan
perjuangannya masing-masing demi sesuatu yang dianggap berharga dan layak
diperjuangkan. Pada era kolonialisme dan
perjuangan kemerdekaan, bangsa ini bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dari penjajahan Belanda maupun Jepang. Setelah itu rakyat harus mengorbankan banyak
sekali untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Masa berikutnya memperjuangkan apa yang
disebut demokrasi Pancasila, selanjutnya memperjuangkan reformasi dan akan
terus ada perjuangan-perjuangan yang baru akan berhenti ketika seluruh mahluk musnah tiada berbekas terkena serampang angin sangkakala yang ditiup malaikat Isrofil. Berapa gelintir dari mereka yang memperjuangkan
nilai-nilai dan cita-cita tersebut pada akhirnya dianugerahi gelar pahlawan? Apakah mereka
kemudian sibuk menuntut gelar tersebut? Tentu jawabannya secara umum adalah "tidak",
si Bahlul pun bisa menjawab
“Lha…sampun dikubur toh mas…piye arep nuntut?”..
Lantas
kenapa setelah mereka tiada sejumlah orang yang mengatasnamakan beliau atau
keluarga dan kelompoknya sibuk dan berjuang mati-matian agar tokohnya diberi
gelar pahlawan? Saya setuju dengan ungkapan Bung Karno yang selalu disitir oleh
para pengusung gelar pahlawan bahwa kita tidak boleh melupakan sejarah dan
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Tapi apakah dengan memberi gelar Pahlawan
Nasional lantas berarti kita sudah tidak lupa dengan sejarah dan sudah
menghargai pahlawan kita? Apa iya sih? Saya koq tidak yakin dengan hal
tersebut.
Mengapa?
Terbukti bahwa
sampai dengan saat ini di negeri kita masih terjadi hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai luhur kepahlawanan yang mirisnya justru dilakukan oleh
orang-orang pemberi dan penyemat gelar pahlawan kepada seseorang. Kita lihat bersama bahwa korupsi,
penyalahgunaan wewenang, kekerasan, monopoli ekonomi, pengabaian kesejahteraan
rakyat dan masih banyak lagi yang bisa disebutkan, toh masih merajalela di
negeri ini. Mulai dari gedung parlemen,
kantor-kantor pemerintahan hingga hutan gunung yang dicemari, dirusak dan
dikuasai segelintir orang untuk memenuhi birahi harta dan menyegarkan haus
duniawi mereka. Apa yang dikatakan untuk
kepentingan rakyat atau atas nama rakyat masih selalu bisa dipertanyakan untuk rakyat
yang mana?
Tidak
melupakan sejarah dan menghargai para pahlawan tidak dapat diwujudkan hanya
dengan seremoni penganugerahan gelar pahlawan nasional. Silahkan anda tanyakan kepada putra-putri
anda yang masih sekolah, entah itu SD, SMP atau SMA, berapa banyak pahlawan nasional
yang mereka tau namanya dan dimengerti hikmah perjuangannya. Bukan salah mereka kalau mereka tidak tahu,
karena sistem dan guru yang mengajarkan di sekolah pun mungkin tidak tahu. Kita sebagai orang tua pun mungkin tidak pernah
juga memberi tahu kepada mereka nilai-nilai apa yang diperjuangkan oleh Cut
Nya’ Dhien, oleh RA Kartini, oleh Dewi Sartika, oleh KH Hasyim Asy’ari, oleh
Martha Tiahahu, oleh Laksamana Yos Sudarso dan para pejuang yang dianugerahi
gelar pahlawan nasional oleh bangsa kita.
Jangan pernah berharap anak cucu kita akan mampu mengambil hikmah,
mengikuti dan menjalankan nilai-nilai luhur kepahlawanan mereka dalam kehidupan
sehari-hari bila mereka pun tidak pernah ada yang mengajari. Semakin tahun bertambah akan semakin banyak
pejuang dan tokoh masa lalu yang menjadi Pahlawan Nasional, tetapi apakah kita
betul-betul mengerti dan memahami perjuangan beliau-beliau, nilai-nilai luhur apa
yang diperjuangkan dan mengapa nilai-nilai terebut perlu diperjuangkan. Para petinggi di negeri ini yang seharusnya
terdidik, pernah sekolah dan berada pada posisi paling mungkin untuk
melanjutkan dan mengamalkan nilai-nilai tersebut bagi kemaslahatan negeri ini justru
menjadi kelompok yang paling sering tergelincir dalam kehidupan serba seremonial
dan hanya khidmat saat penganugerahan tersebut diacarakan tanpa diiringi dengan
penghayatan nilai-nilainya dan lalai untuk menerapkannya dalam menjalankan
amanah mereka.
Menjadi
lucu ketika para pengusul gelar seolah-olah akan mati dan berontak dari negeri
ini bila tokoh yang diusungnya tidak dijadikan sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah. Bila para pengusung itu
faham tentunya mereka tidak akan menggugat habis-habisan bahkan sampai
menghujat dan mengutuki pemerintah yang belum menganugerahi seseorang gelar
Pahlawan Nasional. Mungkin tokoh yang
diusungnya pun akan malu bila tahu bahwa namanya diusulkan sampai seolah-olah
menjadi urusan hidup dan mati. Saya jadi
bertanya-tanya apa sesungguhnya motivasi mereka? Apakah ada keuntungan tertentu
yang akan mereka ambil karena mereka menjadi keturunan seorang Pahlawan
Nasional? Kenapa sibuk memperjuangkan orang lain untuk menjadi pahlawan dan
tidak menjadikan diri sendiri sebagai pahlawan dalam perilaku dan niat
membangun negeri ini sesuai dengan profesi dan kemampuannya? Oleh karena itu,
biarlah para pengambil kebijakan yang berada di Dewan Gelar itu bersidang,
membicarakan dan memutuskan siapa yang akan diberi gelar sebagai Pahlawan
Nasional. Bila sudah diusulkan, ya
tinggal ditunggu saja hasilnya. Bila
belum juga keluar kan bisa ditanya pertimbangannya apa? Tidak perlu juga saling
menghujat seperti orang kesetanan. Para
pejuang saya yakini adalah orang yang ikhlas yang tidak mengharapkan juga gelar
Pahlawan bagi dirinya. Kita saja yang ribut
dengan motivasi dan harapan masing-masing yang belum tentu layak diperjuangkan.
Saya
kadang-kadang terus berfikir, apakah mereka kira bila menjadi keturunan
Pahlawan Nasional terus nanti di alam kubur tidak ditanya oleh malaikat Munkar
dan Nakir? Atau mungkin bisa melewati Sidratul Muntaha dengan menunjukkan
sertifikat keturunan Pahlawan?
Si Bahlul nanya gini “Bro,
ngomong-ngomong itu sertifikat gelar pahlawan bisa dipake ngutang di warteg
nggak? Ne’ iso aku yo gelem…”
Bahluuuuuul..!!!
Comments
Post a Comment