Khilafah Di Mata Dr. Nadirsyah Hosen (Dosen Islamic Law di Univ. of Wollongong, Australia)
Postingan ini lebih bersifat penampilan pertanyaan dan jawabam atas masalah khilafah yang belakangan sering mengemuka di Indonesia
1. Wajibkah mendirikan khilafah?
Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin,
yang dahulu disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala
suku, presiden, perdana menteri, etc. Ada pemelintiran seakan-akan para
ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata "khilafah"
dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang
dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.
Masalah kepemimpinan ini simple saja: “ Nabi
mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi
pemimpin”. Tidak ada nash yang qat'i di al-Qur'an dan Hadis yang mewajibkan
mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang disebut
"khilafah" sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang
penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang
baku.
2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu
akan berdiri lagi di akhir zaman?
Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah
menjanjikan akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka
menyebutnya dengan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Ini dalil pegangan
mereka:
"Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu
sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia
menghendaki untuk mengangkatnya.Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh
jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah.
Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk
mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan
'Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia
menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong
(Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya,
apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak
Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah).Kemudian beliau (Nabi) diam."
(Musnad Ahmad:IV/273) .
Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang
khilafah menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem khilafah.Mereka
menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah sebuah keniscayaan.Ada
baiknya kita bahas saja dalil di atas.
Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut
Imam Bukhari, "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak
pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping
itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan
hadis tsb. Sehingga "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.
Rupanya Habib bin salim itu memang cukup
"bermasalah" . Dia membaca hadis tsb di depan khalifah 'umar bin
abdul aziz utk menjustifikasi bhw kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan
khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka
di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:
"setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin
nubuwwah, lalu akan muncul para raja."
Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan
dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul).Saya duga hadis thabrani ini
muncul pada masa mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan politik
saat itu.
"Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks
thabrani ini me-refer ke khulafa al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke
mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul umar bin abdul azis --dari dinasti
umayyah—yang baik dan adil.Apakah beliau termasuk "raja" yg ngawur
dlm hadis tsb?
Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah
Umar bin Abdul Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut
versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin
nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul azis. Jadi nuansa
politik hadis ini sangat kuat.
Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg
dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin Abdul Azis) sekarang dipahami oleh Hizbut
Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di
kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan Umar bin Abdul Azis dalam urutan
di atas tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu
khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah
lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di
akhir jaman maka Umar bin Abdul Azis termasuk golongan para raja yang ngawur
:-)
Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap
hadis-hadis berbau politik.Sayangnya sikap kritis ini yang sukar
ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah.
3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah
ummat? Selama ummat islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam
tidak akan pernah jaya?
Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap
sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah
buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh "jelek"
Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem
khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia
merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah
berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah "sempurna"
maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi.Padahal banyak
sekali yang harus direformasi.
Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak
dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia
bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak
bisa diterima.Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi
kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.
Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan
khalifah.Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933
(the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama
dua periode saja.Sayangnya, buku ttg khilafah yang ditulis setelah tahun 1933
masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya
kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu
naik-turun karena wafat, di
bunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yg turun
karena masa jabatannya sudah habis.
Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang
mengenai konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja
sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna sih :-)].Dalam
tradisi barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus "disempurnakan"
dalam berbagai bentuknya.Dari mulai sistem proporsional, distrik sampai
gabungan keduanya.Begitu juga dengan sistem parlemen.Dari mulai unicameral
sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung
untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan
lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance.
Tapi kalau kita mau "melihat" ke teori barat,
nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem
kafir.Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yg sudah ketinggalan kereta.
4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan
bersatu. Lantas kenapa harus ditolak?Bukankah kita menginginkan persatuan
ummat?
Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan
khilafah banyak dikutip oleh "pejuang khilafah" belakangan ini:
Rasulullah SAW bersabda:
"Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah
yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim)
Bagaimana "rekaman" sejarah soal ini? Ini daftar
tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat
(sila dikoreksi kalau keliru):
1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
3. Buyids (945-1055)
4. Fatimiyah (909-1171)
5. Saljuk (1055-1194)
6. Ayyubid (1169-1260)
7. Mamluks (1250-1517)
8. Ottoman (1280-1922)
9. Safavid (1501-1722)
10. Mughal (1526-1857)
Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa
al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah
saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909
(dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat
di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah
Universitas Al-Azhar Cairo dibangun).
Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga
memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia
inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama
terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga :-)
Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan
lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk
(1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171.Ayubid
meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260).
Dan seterusnya...silahkan diteruskan sendiri.
Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu;
ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan.Siapa yang
dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal?Mana yang sah dan mana yang harus
dibunuh?
Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis "politik" di
atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi
pertentangan di kalangan ummat islam sepeninggal rasul. Alih-alih
bermusyawarah, spt yang diperintahkan Qur'an, para elit Islam tempo doeloe
malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.
Sejumlah Ulama yg datang belakangan kemudian berusaha
"mentakwil" makna Hadis di atas.Mereka menyadari bahwa situasi sudah
berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di
atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional- state di Madinah, dimana
resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah
Hadis itu diterapkan pada saat ini?
Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan
membuat darah tumpah dimana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yg
jelas, maka para ulama berdebat, spt direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M.
Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yg dibutuhkan utk membai'at
seorang khalifah? Ada yg bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5
orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi],
bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5
orang saja utk membai'at khalifah.Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman
dulu, namun terhitung "menggelikan" untuk jaman sekarang.
Disamping itu, urusan "memenggal kepala"
itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang.Contoh: ribut-ribut jumlah
suara antara AlGore dengan Bush 4 th lalu diselesaikan bukan dengan putusnya
leher salah satu di antara mereka. Begitu juga Gus Dur tidak bisa
meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega "merebut" kekuasaannya
tempo hari. Mekanisme konstitusi yg menyelesaikan semua itu.Nah,
mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada.Apa kita mau balik ke jaman itu
lagi?
Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yg menunjukkan bahwa
terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda, Hadis
politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.
5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak
mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah
sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan spt yang didengungkan para
pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian?Benarkah sejarah khilafah
menunjukkan pertumpahan darah tsb?
Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di
mana-mana. Ini "rekaman" kejadiannya:
Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota
Bani Umayyah, dan mereka "memainkan" pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang.
Masjid Jami' milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama
tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu'awiyah serta Bani
Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh,
mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan
pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan
menaburkan abunya. Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani
Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang
sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil
makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di
kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka,
kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.
Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan
as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan
memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: "Barangsiapa
memasuki masjid Jami', maka ia dijamin keamananya." Beribu-ribu orang
secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan
pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa
orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu.Sebanyak sebelas ribu orang
meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan
ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun
memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga
hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah
selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas
kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau
melalaikan seorang wanita....
Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin
Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji "akan
menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah". Atas
dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka,
dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim
al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu,
menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang
tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim. astaghfirullah...
Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di
Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun,
jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h.
107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A'la al-Maududi ketika
menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.
Note:
Yang jelas sejarah "buruk" kekhilafahan bukan
hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah)
dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode
khilafah pasca khulafa'ur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan
khalifah spt yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah,
perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura,
munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.
Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang
buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan "buruk muka,
cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak
hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi
buruk masa lalu itu.
Ada kesan bahwa dengan menjadikan "khilafah is the
(only) solution" maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam
(sebagaimana juga banyak kisah "keemasan") dalam masa kekhilafahan
itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang
dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja ^_^
6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak
terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd,
jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan
mendistribusikannya , dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung
pada pengangkatan Khalifah.Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan
khilafah?
Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama
dengan sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI], padahal hadis-hadis
yang menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya
mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).
Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian
pelaksanaan syariat islam membutuhkan campur tangan pemimpin? jawabannya
benar,dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya memungut
zakat, menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dst. Jadi, syariat Islam
sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada khilafah.
Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja,
menikah, dst adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski
tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin kita
membebaskan kita melakukan itu semua.Kita tidak dilarang menjalankannya.
Di saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman
potongan tangan (hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dg
penerapan hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca:
SPI) maka syariat Islam juga bisa diterapkan.
7. Apa lagi letak keberatan anda thd ide mendirikan
khilafah?
Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai.
Perang terus menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis
yang mengungkapkan 3 langkah dlm berurusan dengan non-muslim:
1. ajak mereka masuk Islam
2. kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah
3. kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka
perangilah mereka.
Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah,
maka Singapore, Thailand, Philipine dan Australia akan diajak masuk Islam,
atau bayar jizyah, atau diperangi. Masya Allah!
Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan
ulang oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):
Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam,
mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan
pengajian setiap Jum'at malam di masjid universitas.Ceramah kedua disampaikan
oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar
di Amerika selama hampir sepuluh tahun.Saya sangat menyukai dan menghormati
Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah.Dia
juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.
Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan
tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan
kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah
berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dengan ucapan yang
tidak disangka-sangka berikut ini.
"Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar
penting – bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika
mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak
Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya dengan pemerintahan
Islam."
"Hisyam!"Saya mencela."Apakah anda
bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri
dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan
kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk
menggulingkan pemerintah?Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika
masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?!"
Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam
suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan
atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia
merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu
ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan
khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya."Ya,"
dia berkata, "Ya, itu benar."
Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor
matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk
menunjukkan betapa "absurdnya" gagasan mendirikan negara Islam bagi
orang Islam di Amerika. "Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut
agama mereka -berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif
seperti Swiss, Brzail, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam
sangat tidak masuk akal," kata Dr. Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja
Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi
ilmiah maupun di medan perang.
Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.
Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive
strikenya Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah
itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.
Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa
sehingga khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya utk
memeluk Islam dg cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya
dg ide mendirikan kembali khilafah.
8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa
memprediksi bahwa khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh
islam saja percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah
tidak mendukung berdirinya khilafah?
Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca
baik-baik laporan lengkapnya di sini: www.foia.cia. gov/2020/ 2020.pdf
Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sbg gambaran situasi
tahun 2020.Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tsb. Jadi jangan
diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri tahun 2020 :-)
Possible Futures
In this era of great flux, we see several ways in which
major global changes could take shape in the next 15 years, from seriously
challenging the nation-state system to establishing a more robust and inclusive
globalization. In the body of this paper we develop these concepts in four
fictional scenarios which were extrapolated from the key trends we discuss in
this report. These scenarios are not meant as actual forecasts, but they
describe possible worlds upon whose threshold we may be entering, depending on
how trends interweave and play out:
Davos World " illustrating
"how robust economic growth, led by China and India, …
could reshape the globalization process";
Pax Americana " "how US
predominance may survive the radical changes to the global political landscape
and serve to fashion a new and inclusive global order";
A New Caliphate" "how a global movement
fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to
Western norms and values as the foundation of the global system"; and
Cycle of Fear" proliferation of weaponry and
terrorism "to the point that large-scale intrusive security measures are
taken to prevent outbreaks of deadly attacks, possibly introducing an Orwellian
world."
(The quotes are from the report's executive summary.)
Of course, these scenarios illustrate just a few of the
possible futures that may develop over the next 15 years, but the wide range of
possibilities we can imagine suggests that this period will be characterized by
increased flux, particularly in contrast to the relative stasis of
the Cold War era. The scenarios are not mutually exclusive: we may
see two or three of these scenarios unfold in some combination or a wide range
of other scenarios.
Yang menarik, laporan itu juga menyebut-nyebut
soalIndonesia lho. Ini prediksi mereka:
"The economies of other developing countries, such
as Brazil, could surpass all but the largest European countries by 2020;
Indonesia's economy could also approach the economies of individual European
countries by 2020."
Lalu apa yang akan terjadi dengan Amerika (menurut laporan
tsb):
"Although the challenges ahead will be daunting, the
United States will retain enormous advantages, playing a pivotal role across
the broad range of issues --economic, technological, political,and military--
that no other state will match by 2020."
Jadi, dari skenario fiktif yg mereka susun, Amerika tetap
saja jaya. Kerjaan CIA kan ya memang begitu...kok bisa-bisanya kawan-kawan
pejuang pro-khilafah percaya sama CIA. Bukankah prestasi terbesar CIA adalah
saat mengatakan di Iraq ada weapon of mass destruction (WMD)? Kita
tahu ternyata WMD memang fiktif belaka. Yah jangan-jangan khilafah juga bakalan
bernasib sama: fiktif.
Tentang Penulis :
Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD adalah
orang Indonesia pertama yang diangkat sebagai dosen pada fakultas hukum
diAustralia. Pada tahun 2005 ia bekerja sebagai post-doctoral
Research Fellow di TC. Beirne School of Law, Universitas
Queensland, dimana ia mengajar mata kuliah "Comparative anti-terrorism
law and policy" pada program master hukum.[1] Awal
tahun 2007, Nadirsyah Hosen diangkat menjadi dosen tetap
pada Fakultas Hukum, Universitas Wollongong. Ia mengasuh mata kuliah
"Islamic Law" dan "Foundations of Law".[2]
Ia lulusan dari Fakultas Syari'ah, Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia lalu meraih
gelar Graduate Diploma in Islamic Studies, dan Master of
Arts with Honours dari Universitas New England. Kemudian ia
meraih gelar Master of Laws dari Universitas Northern
Territory.
Peraih dua gelar doktor (PhD in Law dari Universitas
Wollongong dan PhD in Islamic law dari National University of
Singapore) ini telah melahirkan sejumlah artikel di jurnal internasional
seperti Nordic Journal of International Law (Lund University), Asia Pacific Law
Review (City University of Hong Kong), Australian Journal of Asian Law
(University of Melbourne), European Journal of Law Reform (Indiana University),
Asia Pacific Journals on Human Rights and the Law (Murdoch University), Journal
of Islamic Studies (University of Oxford), and Journal of Southeast Asian
Studies (Universitas Cambridge).
Disamping itu, Nadirsyah Hosen adalah seorang kiai dari
organisasi Islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Sejak
tahun 2005, ia dipercaya sebagai Ra'is Syuriah, pengurus cabang istimewa NU
di Australia dan Selandia Baru.
Beberapa tulisan dan kolomnya tersebar di media massa
Indonesia seperti Gatra[3], Media Indonesia, The Jakarta
Post dan Jawa Pos. Kumpulan artikel keislamannya bisa dibaca di
Isnet.[4]
Pada bulan September 2007 Nadirsyah Hosen meluncurkan
bukunya, Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia, yang
diterbitkan oleh ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies), Singapore,
2007.[5]
Referensi
- ^ Blog Nadir Hosen
- ^ Nadirsyah Hosen di situs Universitas Wolonggong
- ^ Sutiyoso dan Pengadilan Koroner. Gatra, 7 Juni 2007
- ^ Kumpulan artikel elektronik Nadirsyah Hosen
- ^ Rais Syuriah PCINU Australia Luncurkan Buku Berbahasa Inggris
Comments
Post a Comment