Apakah Semua Orang Bisa Memahami al-Qur’an dan Hadist?
Kembali sy muat ulasan Gus Nadirsyah Hosen. Kali ini tentang fatwa kembali kepada Qur'an dan Hadits yang sering kita dengar sekarang dari anak muda Indonesia yang sedang semangat-semangatnya belajar agama.
Gerakan salafi itu ciri utamanya dua: puritan dan egalitarian. Selain membersihkan ritual keislaman dari berbagai unsur tambahan yg tidak ada di masa Nabi, kaum salafi juga menggelorakan semangat persamaan bahwa siapapun bisa memahami al-Qur’an dan Hadis tanpa melalui ulama sebagai perantaranya.
Gerakan ini semula disebut sebagai pembaharuan, karena bermaksud meruntuhkan tembok tradisi dan ritual keulamaan yang sangat njelimet dan hirarkis. Bagi mereka, al-Qur’an diturunkan untuk semua umat manusia, bukan hanya untuk para ulama. Hum rijal, wa nahnu rijal. Para ulama dan kaum awam itu sama-sama punya hak yang sama untuk memahami perintah Allah dan Rasul. Bahkan menurut mereka kalau umat membaca langsung teks al-Qur’an dan Hadis, maka akan ditemukan beragam praktek yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis.
Banyak perdebatan fiqh yang sudah terlalu jauh dan berputar-putar serta keluar dari apa yang dipraktekkan Rasul. Mereka menuduh kalangan tradisional seolah telah menempatkan pendapat ulama di atas pendapat Rasul.
Lambat laun gerakan ini meraih simpati di mana-mana. Ini semacam perlawanan terhadap otoritas ulama tradisional yang berpendapat bahwa mempelajari al-Qur’an dan Hadis itu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghafal, mengkaji bahkan sampai tidur bersama tumpukan kitab kuning. Kaum salafi memandang Rasul berpesan meninggalkan dua pusaka, yaitu al-Qur’an dan Hadis, bukan berpesan meninggalkan tumpukan kitab kuning. Semua orang bisa berijtihad. Taqlid itu dilarang. Mengikuti begitu saja apa kata kiai itu sudah jatuh pada taqlid. Doktrin utama mereka adalah mari kita kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.
Tapi bukankah al-Qur’an dan Hadis itu ditulis dalam bahasa Arab? Dan tidak semua orang memahami bahasa Arab. Bukankah enam ribu lebih ayat al-Qur’an itu berbentuk prosa, dan bukan hanya bisa dipahami lewat akal semata tapi juga lewat keindahan hati? Bukankah pemahaman satu ayat terkait dengan ayat lainnya, dan bagaimana pula memahami ayat dan hadis yang seolah bertentangan? Dan kalau sarjana teknik punya hak yang sama dengan lulusan pesantren dan UIN untuk memahami kitab suci, mengapa tidak kita bubarkan saja pesantren dan UIN itu? Dan kalau memahami ilmu fisika atau ilmu kedokteran membutuhkan waktu bertahun-tahun, benarkah hanya dengan mengikuti pesantren kilat selama seminggu maka semua orang sudah bisa berijtihad sendiri-sendiri?
Dominasi mazhab dalam Islam dirasakan oleh kaum Salafi telah membatasi akses umat terhadap kitab sucinya sendiri. Ada kesan bahwa umat tidak lagi mengikuti Rasul, tapi hanya terpaku dan tertuju pada aimmatul mazahib (para imam mazhab). Bukankah para imam mazhab itu sendiri yang mengatakan “jika Hadis itu shahih, maka itulah mazhabku”? Maka kaum Salafi sibuk mempreteli berbagai dalil para imam mazhab yang, menurut mereka, bertabrakan dengan sejumlah Hadis shahih. Bahkan ada pula ulama Salafi yang mengingatkan bahwa mazhab-mazhab itu tidak ada di jaman Rasul, mereka muncul belakangan. Nah, mengapa kita tidak mengikuti jejak kaum terdahulu, orang-orang shalih yang tahu persis keshahihan ajaran Nabi karena mereka hidup bersama Nabi? Generasi pertama para sahabat Nabi itu tidak memiliki ijazah, mereka tidak nyantri bertahun-tahun, mereka tidak kenal dengan berbagai kaidah fiqh, tapi para sahabat patuh pada isi al-Qur’an dan apa yang Nabi ajarkan. Pada titik ini, sebagai ganti mengikuti mazhab, mereka meminta umat untuk mengikuti generasi salafus shalih. Di sinilah muncul istilah Salafi.
Tapi bagaimana dengan umat yang tidak memiliki ilmu untuk memahami al-Qur’an dan Hadis? Para sahabat Nabi dulu bisa langsung bertanya kepada Nabi, bagaimana dengan umat saat ini? Tokoh-tokoh Salafi menyadari bahwa tidak semua orang punya kemampuan yang sama untuk mencerna isi al-Qur’an dan Hadis. Kaum Salafi mengutip al-Qur’an yang meminta Muslim bertanya pada ulama jikalau mereka tidak tahu.
Akan tetapi mereka mengingatkan bahwa bukan sembarang ulama yang bisa dijadikan panutan. Yang dijadikan panutan adalah ulama yang hanya mengikuti paham salafus shalih. Ulama yang berpaham Salafi lah yang mengamalkan sunnah dan menjauhi bid’ah. Mereka lah yang mengamalkan secara murni apa yang diajarkan Rasul kepada para sahabatnya. Sampai di sini, terjadilah kemusykilan. Salafi mendobrak dominasi mazhab dan, diakui atau tidak, telah menciptakan mazhab baru. Bedanya, kalau yang lain menganggap Muslim yang mengikuti salah satu mazhab itu masih dianggap benar, Salafi menganggap mereka yang mengikuti mazhab selain mazhab salafi itu pasti salah. Kalau yang lain menganggap semua mazhab dalam Islam itu masih berada dalam naungan apa yang diajarkan Rasul, Salafi beranggapan hanya mereka lah yang paling benar pemahaman dan praktek keislamannya. Sampai di sini para pembaca akan mengerti akar persoalan Salafi dengan yang lainnya. Pada awalnya, Salafi menolak monopoli mazhab dalam memahami Islam, dan repotnya pada akhirnya Salafi malah memonopoli kebenaran.
Akses umat terhadap al-Qur’an dan Hadis sebenarnya selalu terbuka sepanjang masa. Siapapun boleh membaca dan mempelajarinya. Ulama itu mengajarkan al-Qur’an dan Hadis bukan membatasi. Yang dibatasi itu adalah untuk ber-istinbath dari kedua sumber utama ini. Menggali hukum dan menafsirkannya serta mengajarkannya itu jelas membutuhkan kualifikasi. Tanpa kualifikasi, orang bisa sembarangan dan seenaknya mengatakan orang lain itu salah dan sesat. Allah SWT sudah mengingatkan kita:
Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS Az Zumar: 9)
Kaum Salafi beranggapan bahwa semua
perbedaan dalam mazhab itu bisa dihilangkan kalau para pemuka mazhab itu mau
kembali merujuk kepada nash al-Quran dan Hadis sahih. Sebelumnya sudah saya
singgung betapa tokoh-tokoh Salafi sering menyitir ungkapan Imam Syafi’i, “idza
sahha al-hadis fahuwa mazhabi” (jika Hadis itu sahih, maka itulah mazhabku)
untuk mengkritik para kiai di pesantren tradisional yang berpegang kukuh pada
mazhab Syafi’i. Menurut mereka, ungkapan itu bermakna bahwa para kiai harus
meninggalkan pendapat di kitab kuning kalau ternyata pendapat itu tidak
didukung oleh Hadis sahih. Maka kita dapati banyak anak muda yang tiba-tiba rajin
bertanya pada Kiai: “itu hadis yang bapak sebutkan sahih atau dha’if?” sama
dengan pasien bertanya pada dokter sebelum diberi obat: “apa pak dokter sudah
tahu isi kandungan obat ini apa saja ?” Kiai dan dokter tentu akan
senyam-senyum melihat ulah anak muda yang terlalu bersemangat itu.
Mereka lupa bahwa para kiai di
pesantren tentu berpegang pada Hadis sahih. Yang menjadi masalah adalah: apakah
Hadis yang dijadikan pembahasan itu memang sahih? Para kiai di pesantren sangat
paham bahwa salah satu unsur kesahihan Hadis adalah apabila diriwayatkan oleh
perawi yang adil. Namun, apa syarat-syarat seorang perawi dinyatakan adil ?
Para ulama berbeda pendapat soal ini. Imam al-Hakim berpendapat bahwa mereka
yang memilki kriteria sebagai berikut: Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak
berbuat maksiyat sudah dipandang memenuhi kriteria adil. Sementara itu, Imam
al-Nawawi berpendapat bahwa kriteria adil adalah mereka yang beragama Islam,
balig, berakal, memelihara muru’ah, dan tidak fasik. Ibn al-Shalah memang hampir
sama dengan Nawawi ketika memberi kriteria adil, yaitu : Islam, balig, berakal,
muru’ah, dan tidak fasik. Namun antara Imam al-Nawawi dan Ibn al-Shalah berbeda
dalam menjelaskan soal memelihara muru’ah tersebut.
Perdebatan juga muncul, berapa orang
yang harus merekomendasikan keadilan tersebut. Apakah cukup dengan rekomendasi
(ta’dil) satu imam saja ataukah harus dua imam utk satu rawi. Unsur lain yang
jadi perdebatan adalah masalah bersambungnya sanad sebagai salah satu kriteria
kesahihan suatu hadis. Imam Bukhari telah mempersyaratkan kepastian bertemunya
antara periwayat dan gurunya paling tidak satu kali. Sedangkan Imam Muslim
hanya mengisyaratkan “kemungkinan” bertemunya antara perawi dan gurunya; bukan
kepastian betul-betul bertemu. Perbedaan ini jelas menimbulkan variasi dalam
menerima dan menilai kedudukan suatu hadis.
Konsekuensinya, ada satu hadis
dinyatakan sahih oleh satu ulama namun dinyatakan dha’if oleh ulama lain. Dari
sinilah kita bisa menjelaskan mengapa sering terjadi perbedaan pendapat ulama —
sebagaimana terdokumentasi dalam khazanah kitab kuning — padahal masing-masing
mengaku berpegang pada Hadis sahih. Sebagai contoh, masalah azan subuh dua kali
atau satu kali ternyata terdapat Hadis yang sama-sama mendukung
pendapat-pendapat ini. Kitab Subul al-Salam dan Bidayah al-Mujtahid berbeda
dalam mendha’ifkan atau mensahihkan hadis-hadis seputar topik ini karena boleh
jadi mereka berbeda dalam menentukan kriteria Hadis sahih; bukan karena
pengarang kitab kuning tidak berpegang pada Hadis yang sahih.
Kalaupun disepakati Hadis yang
dimaksud itu statusnya sahih, tidak otomatis itu akan dijadikan hujjah. Bisa
jadi Hadis sahih itu sudah di-mansukh oleh Hadis sahih lainnya. Boleh jadi pula
Hadis sahih itu bertabrakan maknanya dengan Hadis sahih lainnya sehingga para
ulama berusaha menggabungkan makna kedua Hadis tsb. Hadis-hadis yang sahih itu
pun masih harus diberikan syarah atau penjelasan terlebih dahulu sebelum
dijadikan dalil hukum.
Nah, tuduhan kaum Salafi seolah para
Kiai pesantren hanya merujuk pada pendapat Imam mazhab dan tidak merujuk pada
kitab Hadis menjadi tertolak setelah kita tahu bahwa para pensyarah Hadis yang
dijadikan rujukan standar itu ternyata juga mengikuti mazhab fiqh, bukan
mengikuti ‘mazhab’ Salafi.
Ibnu Rajab yang mengarang kitab
Fathu al-Bari itu bermazhab Hanbali. Umdatul Qari merupakan karya Badruddin
al-Aini yang bermazhab Hanafi, dan Ibnu Hajar al-Asqalani yang kitab Fathu
al-Bari nya diakui sebagai rujukan utama memahami kitab Hadis Shahih Bukhari
itu merupakan ulama besar yang bermazhab Syafi’i. Sebagai tambahan, Al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj atau yang terkenal dengan sebutan Syarh Shahih
Muslim ditulis oleh ulama besar bernama Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi, yang
juga bermazhab Syafi’i.
Anak muda yang senang bertanya “ini
Hadisnya sahih atau tidak” itu umumnya hanya merujuk kepada Syekh al-Albani.
Kalau kata Syekh al-Albani Hadis tsb sahih maka mereka juga bilang sahih.
Mereka lupa bahwa ribuan tahun sebelum Syekh al-Albani lahir, para ulama dari
berbagai mazhab yang saya sebutkan di atas itu merupakan ahli Hadis yang
dijadikan rujukan dunia Islam. Bagaimana mungkin pendapat ulama mazhab kemudian
dipertentangkan dengan Hadis sahih?
Wa Allahu a’lam bis Shawab.
Comments
Post a Comment