Berpikir Tertib Ala Pesantren Dengan Memahami Perbedaan Fatwa dan Ijtihad Para Ulama dan Imam Mujtahid

Tulisan ini merupakan hasil rangkuman dari tulisan-tulisan Gus Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PC Istimewa NU Australia-New Zealand.  Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat serta membawa kepada kebaikan umat agar menjadi umat Islam yang dewasa, tidak mudah curiga, tidak mudah tersinggung dan ngamuk bila ada yang berbeda pendapat khususnya dalam masalah syari'ah.



Mengkaji pendapat ulama dalam mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir yang tertib dan sistematis. Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini –tidak sebagaimana cibiran kalangan tertentu seolah para Kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah.
Kitab Fathul Mu’in dengan hasyiah-nya I’anatut Thalibin, sebuah kitab mazhab Syafi’i yang banyak dipelajari dan dipedomani di pesantren-pesantren membicarakan bagaimana seharusnya bermazhab.
Dalam kitab itu disebutkan bahwa dalam bermazhab (demikian juga dalam memberikan fatwa dan memutuskan hukum di pengadilan), pendapat yang harus dipedomani adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
Akan tetapi jika keduanya berbeda pendapat, pendapat Imam Nawawi-lah yang harus dijadikan pedoman. Apabila tidak ditemukan pendapat Imam Nawawi, barulah dipedomani pendapat Imam Rafi’i, lalu pendapat yang dinyatakan rajih (kuat) oleh sebagian besar ulama, dan seterusnya.
Dari sisi kitab, jika kitab-kitab karya Imam Nawawi saling berlainan antara yang satu dengan yang lain maka – secara berturut-turut – kitab yang harus dijadikan rujukan ialah kitab al-Majmu’, at-Tahqiq, at-Tanqih, ar-Raudhah, al-Minhaj, dan seterusnya. Cara pandang dan sikap seperti itu terdapat pula di lingkungan mazhab lain.



Lantas bagaimana kalau terjadi perbedaan riwayat dalam memahami hasil ijtihad Imam Syafi’i? Maka Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj pun menjelaskan berbagai istilah yang dipakai dalam mazhab Syafi’i. Sekedar menyebutkan contoh saja:
    Al-Adzhar ( الأظهر) : yaitu pendapat imam Syafi’i yang lebih diunggulkan ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih.
    Al-Masyhur (المشهور ) : pendapat imam Syafi’i yang diunggulkan (al-rajih) dari beberapa pendapat sang Imam yang argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).
    Al-Ashah ( الأصح ) : Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah, dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
    Al-Nash ( النص ) : adalah pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash ( النص ) yaitu dhoif (ضعيف ) atau qoul mukhorroj ( قول مخرج ), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.

Ini sebabnya anda tidak bisa dianggap pakar dalam bidang ilmu apapun kalau belum berpikir secara runtut, tertib dan sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para Kiai di pondok pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, tidak seperti para mufti facebook dan mufti twitter.
Kita ini belum ada seujung kuku ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para Kiai pun kita tidak boleh su’ul adab. Mari kita doakan semoga Allah merahmati para Kiai, masyayikh dan guru-guru kita dan kita diberi ‘cipratan’ cahaya dan rahasia ilmu-ilmu mereka. Amin ya Allah

Di bawah ini saya tuliskan sedikit penjelasan tentang Syari'ah dan Fiqh. Seringkali kita tidak bisa membedakan keduanya, sehingga kita menjadi "alergi" dengan perbedaan pendapat. Atau, biasanya, kita "ngedumel" kepada ulama yang punya pendapat lain, seraya berkata, "kita kan umat yang satu, kenapa harus berbeda pendapat!".
Dari penjelasan di bawah ini nanti akan terlihat bahwa kita bersatu pada masalah Syari'ah dan dimungkinkan untuk berbeda pendapat dalam masalah Fiqh.

Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna Syari'ah adalah Aturan yang bersumber dari nash yang qat'i.  Sedangkan Fiqh adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni.
Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang disebut Qat'i dan apa pula yang disebut zanni.

1. Nash Qat'i
Qat'i itu terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut lafaznya.Semua ayat al-Qur'an itu merupakan qat'i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah. Qat'i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat'i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama. Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat" Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.
Begitu pula halnya dengan hadis. Hadis mutawatir mengandung sifat qat'i al-wurud (qat'i dari segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu qat'i al-wurud (hanya yang mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis mutawatir itu bersifat qat'i al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:
Qat'i al-tsubut atau qat'i al-wurud: semua ayat Al-Qur'an dan Hadis mutawatir
Qat'i al-dilalah: tidak semua ayat al-Qur'an dan tidak semua hadis mutawatir

2. Nash Zanni
Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu', kata "aw lamastumun nisa" dalam al-Qur'an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz "quru" (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.
 Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.
zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)

Nah, Syari'ah tersusun dari nash qat'i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
(a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat'i dan ini syari'ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhir Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata "melihat" mengandung penafsiran.

(a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata "bi" pada famsahuu biru'usikum terbuka utk ditafsirkan.

(a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk "ushalli" sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup

(a) Judi itu dilarang (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa yang disebut judi itu? apakah lotre juga judi? (ini fiqh)
Catatan: para ulama berbeda dalam mengurai unsur suatu perbuatan bisa disebut judi atau tidak.

(a) riba itu diharamkan (nas qat'i dan ini syari'ah)
(b) apa bunga bank itu termasuk riba? (ini fiqh)
Catatan: para ulama berbeda dalam memahami unsur riba dan 'illat (ratio legis) mengapa riba itu diharamkan

(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)
Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat (apakah mau ditutup dg jilbab atau dg kertas koran atau dengan kain biasa). Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya.

Dan lain-lain lagi contohnya.

Jadi, tidak semua hal kita harus berbeda pendapat. Juga tidak semua perbedaan pendapat bisa dihilangkan. Kita tidak berbeda pendapat dalam hal Syari'ah namun boleh jadi berbeda pendapat dalam hal fiqh. Kalau ulama berbeda dalam fiqh, nggak usah diributkan karena memang wilayah fiqh terbuka beragam penafsiran. Juga tidak perlu buru-buru mencap "ini bid'ah dan itu sesat" Apalagi sampai menuduh ulama pesanan. Perhatikan dulu apakah perbedaan itu berada pada level syari'ah atau level fiqh.

Saya menangkap kecenderungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai berikut:

Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".

Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.
Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:

1. Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.
Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
 Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:
lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).

 d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:
al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
al-aslu fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).

Perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukan karena mereka memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab, tetapi karena teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan pendapat.

2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis.
a. Kedudukan hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).
Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.
Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.
Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.
Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).
Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.
Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).

 b. makna suatu hadis
Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.
Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.
Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.

Penjelasan sebelumnya telah menjelaskan bahwa semua ulama berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadis, namun Al-Qur'an dan Hadis memang "membuka peluang" adanya perbedaan pemahaman dan perbedaan pendapat dikalangan ulama.

 3. Perbedaan dalam metode ijtihad
A. Sejarah singkat
Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash. Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah.
Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.
Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif (artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.
Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".

 Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.

 B. Metode Ijtihad
B.1. Imam Abu Hanifah
Berpegang pada dalalatul Qur'an
Menolak mafhum mukhalafah
Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
Berpegang pada hadis Nabi
Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))
Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
Berpegang pada Qiyas
mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
Berpegang pada istihsan

 B.2. Imam Malik bin Anas
Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
zhahir Nash
menerima mafhum mukhalafah
Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
Qaulus shahabi
Qiyas
Istihsan
Mashalih al-Mursalah

 B.3 Imam Syafi'i
Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)
Ijma'
hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya

 B.4. Imam Ahmad bin Hanbal
An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)
menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
Ijma'
Qiyas

Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:
Imam Abu Hanifah
Imam Syafi'i
Imam Malik
Imam Ahmad bin Hanbal

Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan riwayat:
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik bin Anas
Imam Syafi'i
Imam Abu Hanifah

(Bagi yang ingin mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984)

 Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama:
Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka
Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis

Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.
Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun pendapat kita.
Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya.
Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.
Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil?
Al-Haq min Allah!

Sebagian dari kita cenderung reaktif jikalau mendengar ada fatwa yang terkesan aneh dan kontroversial. Bahkan tanpa ilmu yang memadai mereka langsung mencerca dan mencemooh ulama yang mengeluarkan fatwa kontroversial. Mereka tidak bisa menerima perbedaan fatwa, apalagi fatwa yang terdengar aneh.
Sebenarnya selama fatwa tersebut berdasarkan kaidah keilmuan maka tidak ada yang aneh. Kontroversi itu hal biasa. Pendapat jumhur atau mayoritas ulama belum tentu benar, dan pendapat yang berbeda belum tentu salah. Sepanjang sejarah pemikiran Islam, para ulama biasa berbeda pendapat. Pada satu kasus, ulama A berbeda dengan jumhur ulama. Pada kasus lain, justru ulama A yang membela pendapat jumhur. Inilah indahnya keragaman pendapat, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Mausu'ah al-fiqh al-Islami wa al-qadlaya al-mu'ashirah.
Perbedaan pendapat, jikalau dipahami dengan proporsional, akan membawa rahmat. Umat tinggal memilih satu pendapat yang lebih cocok, lebih sesuai dan lebih maslahat serta lebih mudah dijalankan, di antara sekian banyak pendapat. Rasulullah SAW pun jikalau dihadapkan pada dua perkara, beliau SAW akan memilih perkara yang lebih mudah. Karena semua pendapat mazhab itu memiliki dasar dan dalil dari al-Qur'an dan Sunnah, maka pertanyaannya bukan lagi pendapat mana yang benar, tapi pendapat mana yang lebih cocok kita terapkan untuk kondisi yang kita hadapi.
Kalau soal kontroversi, ulama mana yang tidak dianggap kontroversial? Semua ulama pada masanya pernah dianggap fatwanya aneh dan kontroversial. Misalnya, Imam Syafi'i berbeda pandangan dengan mayoritas ulama ketika mengatakan anak hasil zina boleh dikawini oleh 'bapak'nya. Ini pendapat yang bikin heboh. Atau bagaimana Imam Malik berpandangan anjing itu suci, dan tidak najis. Ini berbeda dengan pandangan jumhur ulama. Atau ada pendapat lain yang terkesan sepele tapi terdengar aneh. Kalau anda berbohong saat berpuasa, apakah puasa anda batal? Menurut Imam Dawud al-Zhahiri, puasa anda batal. Menurut jumhur ulama, tidak batal. Apakah saat anda tersenym ketika sedang shalat, shalat anda batal? Iya, batal, menurut Imam Abu Hanifah, dan tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau anda makan daging unta, wudhu anda batal? Iya, batal, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tapi tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau anda minum nabidz (selain dari perasan anggur) dan tidak mabuk itu hukumnya halal? Iya, nabidz itu halal pada kadar tidak memabukkan menurut Imam Abu Hanifah, tapi dinyatakan haram oleh jumhur ulama baik mabuk atau tidak. Apakah yang haram itu hanya daging babi saja atau semuanya termasuk lemak dan tulangnya? Jumhur bilang semuanya dari babi itu haram, tapi Imam Dawud al-Zhahiri bilang hanya daging (lahm) nya saja yang haram.

Contoh-contoh di atas bisa terus berlanjut, dan semua ulama mazhab pernah berbeda dengan jumhur ulama. Dengan kata lain, pendapat mereka dalam kasus-kasus tertentu dianggap aneh dan kontroversial. Namun bukan berarti mereka pantas untuk kita cerca atau cemooh. Sesuai hadits Nabi, jikalau mereka salah dalam berijtihad, mereka mendapat pahala satu. Dan jikalau ijtihad mereka benar, maka mereka mendapat pahala dua. Apapun hasil ijtihad mereka, mereka tetap mendapat pahala. Dan kita yang tidak pernah berijtihad, dan hobinya cuma mencerca ulama, bukannya dapat pahala, jangan-jangan malah dapat dosa.

Sebagai contoh bagaimana para Ulama terdahulu berijtihad adalah cerita sebagai berikut :
Lelaki tua itu sudah sakit-sakitan, dan calon pembeli tanah didampingi pengacara terus memaksa agar lelaki itu menandatangani kontrak jual beli. Maka ditandatanganilah kontrak itu. Dua hari kemudian lelaki itu meninggal, dan keluarganya baru tahu bahwa telah terjadi jual beli. Pembeli tanah memiliki kontrak yang sudah sah di mata hukum dengan harga yang sangat murah. Semuanya sah, dan tandatangan pun asli.
Keluarga menggugat ke Pengadilan. Alasannya ada ketidakdilan dalam proses jual beli itu. Lelaki tua dan sekarat itu tidak didampingi keluarga dan pengacara saat melakukan transaksi. Pengadilan Inggris kebingungan menghadapi kasus yang terjadi tahun 1859 ini (Clark v Malpas). Kalau berpegang pada aturan formal, transaksi dinyatakan sah, tapi karena prosedurnya cacat dimana satu pihak mengambil keuntungan dari kelemahan posisi pihak lain, maka transaksi dinyatakan tidak sah. Pengadilan memilih opsi kedua berdasarkan konsep Equity. Transaksi dinyatakan batal.

Ribuan tahun sebelumnya, Imam Abu Hanifah sudah menerapkan prinsip Equity ini dalam berijtihad. Qiyas (analogy) kadangkala melahirkan hukum yang tidak adil atau kurang proporsional. Maka Imam Abu Hanifah berpaling dari hukum qiyas yang lebih kuat (jali) menuju hukum berdasarkan qyas yang lebih lemah (khafi). Dengan kata lain, dalil yang lebih kuat dikecualikan atau dikhususkan karena hasilnya lebih mencerminkan ruh al-tasyri'. Pengecualian dan pengkhususan ini dinamakan istihsan.
Dasar melakukan istihsan ini adalah QS al-Zumar: 18: "yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik (ahsanah). Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." Dalam satu riwayat dari Ibn Mas'ud, Rasul bersabda : "Apa yang dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga dianggap baik" (HR Ahmad).
Para ulama berdebat mengenai defenisi istihsan, seperti dipaparkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Usul al-Fiqh al-islami, Jilid 2, 736-739. Bahkan keberatan Imam Syafi'i terhadap istihsan disinyalir berpangkal dari perbedaan definisi itu.
Berbagai contoh pengecualian atau pengkhususan menggunakan istihsan juga disampaikan oleh para ulama. Misalnya, ada ulama yang menganggap tindakan Umar bin Khattab tidak memotong tangan pencuri saat masa paceklik itu berdasarkan istihsan. Bahkan dalam contoh modern: Dekrit Presiden Soekarno, Supersemar yang diberikan kepada Jenderal Soeharto maupun Dekrirt Presiden Gus Dur membubarkan parlemen, semuanya bisa dianggap sebagai contoh istihsan. Menyimpang dari aturan, tapi bertujuan kemaslahatan bangsa.

Contoh lain: Seorang raja telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadan. maka dikumpulkan semua ulama dimana raja meminta fatwa. Semua ulama sepakat bahwa sesuai urutan kafarat dalam hadis Nabi, maka raja harus membebaskan seorang budak. Namun ada satu ulama yang justru memberikan fatwa berbeda. Ulama ini meminta raja berpuasa dua bulan berturut-turut, padahal ini adalah opsi kedua jikalau tidak mampu membebaskan budak.
Namun bagi ulama ini, kalau raja hanya diminta membebaskan satu budak, maka begitu mudahnya raja besok melanggar lagi ketentuan syariat. Bukan perkara susah buat raja untuk setiap hari membebaskan budak. Untuk memberikan efek jera, maka ulama ini langsung berpaling kepada opsi kedua, yaitu meminta raja berpuasa dua bulan berturut-turut. Para ulama lain ribut, namun yang dilakukan oleh seorang ulama yang berani tampil beda di depan raja ini adalah mengaplikasikan konsep istihsan-nya Imam Abu Hanifah.

Begitulah...para ulama sejak dahulu kala sudah dengan luar biasa memasukkan pertimbangan "baik dan buruk" dalam mengeluarkan fatwa. Mereka tidak hanya bertumpu pada kekuatan dalil, tapi juga sejauhmana keadilan dan kemaslahatan bisa terwujud. Dunia barat pun, baik disadari atau tidak, sebetulnya sangat terlambat memahami "istihsan" tersebut. Hukum Islam jauh lebih maju dalam melakukan pengecualian dan pengkhususan dalil.

Sayang, saat ini, sebagian umat Islam (khususnya di Indonesia; yang masih menjadi para pubertas agama) tidak lagi mempelajari ilmu usul al-fiqh yang luar biasa itu. Mereka hanya dicekoki oleh para murabbi dan ustadznya: "cukup pakai Qur'an dan Hadis. Kalau tidak ada dalil dari keduanya maka tinggalkan perkara ini." Mereka sibuk menanyakan dalil, padahal para ulama sudah lebih dalam lagi: bagaimana memahami dalil, bagaimana mengaplikasikan dalil kalau terjadi kontradiksi, bolehkah mengecualikan dalil yang kuat dengan memakai dalil yang lemah, bagaimana pula kalau tidak ada dalil sama sekali tapi ada kemaslahatan di sana, dan seterusnya...

Kesimpulannya: ber-ijtihad tidak sesederhana bikin telor ceplok.

Dan perbedaan pendapat itu biasa bahkan antar Ulama satu madzhab, jadi jangan begitu melihat yang berbeda terus dengan gampang nuduh bid'ah, JIL, bahkan sampai dibilang sesat atau musyrik.  Ingat, yang berhak menilai hanya Allah saja dan kita selama meyakini bahwa yang kita lakukan ada dasarnya dengan rujukan Ulama terdahulu ya monggo2 saja, toh perbedaan itu rahmat.  Yang penting bagaimana kita menjadi sebaik-baik manusia bagi mahluk Allah yang lain.

Wallahu a'lam bish showab

Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA