Berpikir Tertib Ala Pesantren Dengan Memahami Perbedaan Fatwa dan Ijtihad Para Ulama dan Imam Mujtahid
Tulisan ini merupakan hasil rangkuman dari tulisan-tulisan Gus Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PC Istimewa NU Australia-New Zealand. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat serta membawa kepada kebaikan umat agar menjadi umat Islam yang dewasa, tidak mudah curiga, tidak mudah tersinggung dan ngamuk bila ada yang berbeda pendapat khususnya dalam masalah syari'ah.
1. Nash Qat'i
Dan lain-lain lagi contohnya.
Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
Mengkaji pendapat ulama dalam
mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir yang tertib dan sistematis.
Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren
terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini –tidak sebagaimana
cibiran kalangan tertentu seolah para Kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah.
Kitab Fathul Mu’in dengan
hasyiah-nya I’anatut Thalibin, sebuah kitab mazhab Syafi’i yang banyak
dipelajari dan dipedomani di pesantren-pesantren membicarakan bagaimana
seharusnya bermazhab.
Dalam kitab itu disebutkan bahwa
dalam bermazhab (demikian juga dalam memberikan fatwa dan memutuskan hukum di
pengadilan), pendapat yang harus dipedomani adalah pendapat yang disepakati
oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
Akan tetapi jika keduanya berbeda
pendapat, pendapat Imam Nawawi-lah yang harus dijadikan pedoman. Apabila tidak
ditemukan pendapat Imam Nawawi, barulah dipedomani pendapat Imam Rafi’i, lalu
pendapat yang dinyatakan rajih (kuat) oleh sebagian besar ulama, dan
seterusnya.
Dari sisi kitab, jika kitab-kitab
karya Imam Nawawi saling berlainan antara yang satu dengan yang lain maka –
secara berturut-turut – kitab yang harus dijadikan rujukan ialah kitab
al-Majmu’, at-Tahqiq, at-Tanqih, ar-Raudhah, al-Minhaj, dan seterusnya. Cara
pandang dan sikap seperti itu terdapat pula di lingkungan mazhab lain.
Lantas bagaimana kalau terjadi
perbedaan riwayat dalam memahami hasil ijtihad Imam Syafi’i? Maka Imam Nawawi
dalam kitab al-Minhaj pun menjelaskan berbagai istilah yang dipakai dalam
mazhab Syafi’i. Sekedar menyebutkan contoh saja:
Al-Adzhar ( الأظهر) : yaitu
pendapat imam Syafi’i yang lebih diunggulkan ketika argument beliau sama-sama
kuat antara dua pendapat atau lebih.
Al-Masyhur (المشهور ) :
pendapat imam Syafi’i yang diunggulkan (al-rajih) dari beberapa pendapat sang
Imam yang argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan
sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain
lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).
Al-Ashah ( الأصح ) :
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama
Syafi’iyyah, dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari
segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan
al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut
dengan ash-shahih.
Al-Nash ( النص ) : adalah
pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash ( النص ) yaitu dhoif (ضعيف ) atau
qoul mukhorroj ( قول مخرج ), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga
disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.
Ini sebabnya anda tidak bisa dianggap
pakar dalam bidang ilmu apapun kalau belum berpikir secara runtut, tertib dan
sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para Kiai di pondok
pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, tidak seperti para mufti
facebook dan mufti twitter.
Kita ini belum ada seujung kuku
ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para Kiai pun kita
tidak boleh su’ul adab. Mari kita doakan semoga Allah merahmati para Kiai,
masyayikh dan guru-guru kita dan kita diberi ‘cipratan’ cahaya dan rahasia
ilmu-ilmu mereka. Amin ya Allah
Di bawah ini saya tuliskan sedikit
penjelasan tentang Syari'ah dan Fiqh. Seringkali kita tidak bisa membedakan
keduanya, sehingga kita menjadi "alergi" dengan perbedaan pendapat.
Atau, biasanya, kita "ngedumel" kepada ulama yang punya pendapat
lain, seraya berkata, "kita kan umat yang satu, kenapa harus berbeda
pendapat!".
Dari penjelasan di bawah ini nanti
akan terlihat bahwa kita bersatu pada masalah Syari'ah dan dimungkinkan untuk
berbeda pendapat dalam masalah Fiqh.
Syari'ah memiliki pengertian yang
amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna Syari'ah adalah Aturan yang
bersumber dari nash yang qat'i. Sedangkan Fiqh adalah aturan hukum Islam yang
bersumber dari nash yang zanni.
Penjelasan singkat ini membawa kita
harus memahami apa yang disebut Qat'i dan apa pula yang disebut zanni.
1. Nash Qat'i
Qat'i itu terbagi dua: dari sudut
datangnya atau keberadaannya dan dari sudut lafaznya.Semua ayat al-Qur'an itu
merupakan qat'i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an
itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat
Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah. Qat'i al-dilalah adalah ayat yang
lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada
ayat yang berdimensi qat'i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran
dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat
ulama. Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya
bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat" Tidak ada ijtihad dalam kasus
ini sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.
Begitu pula halnya dengan hadis.
Hadis mutawatir mengandung sifat qat'i al-wurud (qat'i dari segi
keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu qat'i al-wurud (hanya yang
mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis mutawatir itu bersifat qat'i
al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:
Qat'i al-tsubut atau qat'i
al-wurud: semua ayat Al-Qur'an dan Hadis mutawatir
Qat'i al-dilalah: tidak semua ayat
al-Qur'an dan tidak semua hadis mutawatir
2. Nash Zanni
Zanni juga terbagi dua: dari sudut
datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang
lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh dalam soal menyentuh
wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu', kata "aw lamastumun nisa"
dalam al-Qur'an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz "quru"
(QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.
Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat
zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih
satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja
terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu
juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah
terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk
beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.
zanni al-wurud : selain hadis
mutawatir
zanni al-dilalah : lafaz dalam
hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Nah, Syari'ah tersusun dari nash
qat'i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
(a) kewajiban puasa Ramadlan
(nashnya qat'i dan ini syari'ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan
akhir Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan harus
melihat bulan, namun kata "melihat" mengandung penafsiran.
(a) membasuh kepala saat berwudhu
itu wajib (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) sampai mana membasuh kepala
itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata "bi" pada
famsahuu biru'usikum terbuka utk ditafsirkan.
(a) memulai shalat harus dengan
niat (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apakah niat itu dilisankan
(dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang
perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk "ushalli" sedangkan ulama lain
memandang niat dalam hati saja sudah cukup
(a) Judi itu dilarang (nash qat'i
dan ini Syari'ah)
(b) apa yang disebut judi itu?
apakah lotre juga judi? (ini fiqh)
Catatan: para ulama berbeda dalam
mengurai unsur suatu perbuatan bisa disebut judi atau tidak.
(a) riba itu diharamkan (nas qat'i
dan ini syari'ah)
(b) apa bunga bank itu termasuk
riba? (ini fiqh)
Catatan: para ulama berbeda dalam
memahami unsur riba dan 'illat (ratio legis) mengapa riba itu diharamkan
(a) menutup aurat itu wajib bagi
lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan
perempuan? (ini fiqh)
Catatan: apakah jilbab itu wajib
atau tidak adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup
aurat (apakah mau ditutup dg jilbab atau dg kertas koran atau dengan kain
biasa). Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib
ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para
ulama berbeda dalam menjawabnya.
Dan lain-lain lagi contohnya.
Jadi, tidak semua hal kita harus
berbeda pendapat. Juga tidak semua perbedaan pendapat bisa dihilangkan. Kita
tidak berbeda pendapat dalam hal Syari'ah namun boleh jadi berbeda pendapat
dalam hal fiqh. Kalau ulama berbeda dalam fiqh, nggak usah diributkan karena
memang wilayah fiqh terbuka beragam penafsiran. Juga tidak perlu buru-buru
mencap "ini bid'ah dan itu sesat" Apalagi sampai menuduh ulama
pesanan. Perhatikan dulu apakah perbedaan itu berada pada level syari'ah atau
level fiqh.
Saya menangkap kecenderungan
sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai
berikut:
Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
Bersikap mencurigai perbedaan itu.
Jangan-jangan ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah
"tekanan".
Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya
akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama. Kita akan
terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang
pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru
terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan
itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu,
adalah suatu hal yang mustahil dihapus.
Di antara sekian banyak "asbab
al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:
1. Perbedaan dalam memahami
al-Qur'an.
Al-Qur'an adalah pegangan pertama
semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam
memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an
yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru"
dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian
lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru"
ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan
itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin
Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang
ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan
para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang
berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'"
sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau
Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata
yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata
"quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka
peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw",
"aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung
banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam
QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu
berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian
lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi
"li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok
pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak
campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau
sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa
tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu
setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am -
khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an
adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis
untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk)
untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun
nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus
(lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi
yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang
pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan
tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah
dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra:
23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua.
Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain
yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul,
dan sebagainya).
Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama
berbeda memandang satu ayat sbb:
lafaz umum dan memang maksudnya
untuk umum, atau
lafaz umum tetapi maksudnya untuk
khusus; dan
lafaz khusus dan memang maksudnya
khusus; atau
lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal
mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah
yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini
malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke
buku-buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan
larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para
ulama mengambil tiga kemungkinan:
al-aslu fil amri lil wujub (dasar
"perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
al-aslu fil amri li an-nadab (dasar
"perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
al-aslu fil amri lil ibahah (dasar
"perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz
"kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah,
tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn
nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk
perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab
Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).
Perbedaan pendapat dikalangan ulama
itu bukan karena mereka memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab,
tetapi karena teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan
pendapat.
2. Berbeda dalam memahami dan
memandang kedudukan suatu hadis.
a. Kedudukan hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis
mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir
adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin
berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang
banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu
adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain
mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang
mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah
li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).
Artinya, walaupun mereka sepakat
akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan
syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang
dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama
yang lain.
Begitu pula halnya dalam memandang
kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih
adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama
berbeda dalam mendefenisikan adil itu.
Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh
hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur :
tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur
al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama,
kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan
diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.
Artinya, walaupun para ulama
sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis
itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan
syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena
perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun),
tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat
adil yg dia yakini).
Persoalan lain adalah, bagaimana
melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang
saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu
telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama
berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis
yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.
Bagaimana bila teks hadis terlihat
seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang
pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri
ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian
lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak
perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang
dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).
b. makna suatu hadis
Hadis Nabi mengatakan, "La
nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab
Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan
berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan
bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la
nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah
sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf
"la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.
Contoh lain, apakah persusuan
diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya,
karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang
sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah
status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini
hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap
orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan
bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena
bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis
Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia
riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.
Hal terakhir ini menimbulkan
masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri
tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak
shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang
bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa
hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak
mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.
Penjelasan sebelumnya telah
menjelaskan bahwa semua ulama berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadis, namun
Al-Qur'an dan Hadis memang "membuka peluang" adanya perbedaan
pemahaman dan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3. Perbedaan dalam metode ijtihad
A. Sejarah singkat
Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab"
di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara
ketat. Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang
menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash. Kelompok
kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.
Dalam perkembangan selanjutnya,
kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok
pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul
di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin
Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di
Kufah.
Imam Malik berada di lingkungan di
mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya,
tinggal di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta
geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.
Imam Malik bukan saja lebih banyak
menggunakan hadis Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di Madinah)
dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu
sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan
sangat selektif (artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat
hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai
jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah
menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.
Imam Malik memiliki murid bernama
Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama
Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul
hadis" di Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu
Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad,
namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah
kemudian dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".
Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh
tidak hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab
itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya
empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia
Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.
B. Metode Ijtihad
B.1. Imam Abu Hanifah
Berpegang pada dalalatul Qur'an
Menolak mafhum mukhalafah
Lafz umum itu statusnya Qat'i
selama belum ditakshiskan
Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang
tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
Berpegang pada hadis Nabi
Hanya menerima hadis mutawatir dan
masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))
Tidak hanya berpegang pada sanad
hadis, tetapi juga melihat matan-nya
Berpegang pada qaulus shahabi
(ucapan atau fatwa sahabat)
Berpegang pada Qiyas
mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
Berpegang pada istihsan
B.2. Imam Malik bin Anas
Nash (Kitabullah dan Sunnah yang
mutawatir)
zhahir Nash
menerima mafhum mukhalafah
Berpegang pada amal perbuatan
penduduk Madinah
Berpegang pada Hadis ahad (jadi,
beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
Qaulus shahabi
Qiyas
Istihsan
Mashalih al-Mursalah
B.3 Imam Syafi'i
Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau
menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu
merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i
digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum
dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus
tertentu)
Ijma'
hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i
lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
Beliau tidak menggunakan fatwa
sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
B.4. Imam Ahmad bin Hanbal
An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis.
Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah
al-Qur'an)
menolak ijma' yang berlawanan
dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)
menolak Qiyas yang berlawanan
dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
Berpegang pada Qaulus shahabi
(fatwa sahabat)
Ijma'
Qiyas
Kalau kita susun empat Imam mazhab
itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:
Imam Abu Hanifah
Imam Syafi'i
Imam Malik
Imam Ahmad bin Hanbal
Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan
riwayat:
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik bin Anas
Imam Syafi'i
Imam Abu Hanifah
(Bagi yang ingin mendalami metode
ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij
al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait,
Jami'ah al-Kuwait, 1984)
Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda
pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama:
Sebab internal, yaitu berbeda dalam
memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka
Sebab eksternal, yaitu perbedaan
sosio-kultural dan geografis
Persoalannya sekarang, bagaimana
kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa
keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka
silahkan anda pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah
cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.
Jangan sembarangan menuduh mereka
sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat
menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera
ataupun pendapat kita.
Mengapa kita harus mengukur
dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur
kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya.
Di sisi lain, ulama pun tetap
manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah
sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad, namun
Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah
dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.
Masalahnya, Apakah kita punya hak
untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang
paling adil?
Al-Haq min Allah!
Sebagian dari kita cenderung
reaktif jikalau mendengar ada fatwa yang terkesan aneh dan kontroversial.
Bahkan tanpa ilmu yang memadai mereka langsung mencerca dan mencemooh ulama
yang mengeluarkan fatwa kontroversial. Mereka tidak bisa menerima perbedaan
fatwa, apalagi fatwa yang terdengar aneh.
Sebenarnya selama fatwa tersebut
berdasarkan kaidah keilmuan maka tidak ada yang aneh. Kontroversi itu hal
biasa. Pendapat jumhur atau mayoritas ulama belum tentu benar, dan pendapat
yang berbeda belum tentu salah. Sepanjang sejarah pemikiran Islam, para ulama
biasa berbeda pendapat. Pada satu kasus, ulama A berbeda dengan jumhur ulama.
Pada kasus lain, justru ulama A yang membela pendapat jumhur. Inilah indahnya
keragaman pendapat, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam
kitabnya Mausu'ah al-fiqh al-Islami wa al-qadlaya al-mu'ashirah.
Perbedaan pendapat, jikalau
dipahami dengan proporsional, akan membawa rahmat. Umat tinggal memilih satu
pendapat yang lebih cocok, lebih sesuai dan lebih maslahat serta lebih mudah
dijalankan, di antara sekian banyak pendapat. Rasulullah SAW pun jikalau
dihadapkan pada dua perkara, beliau SAW akan memilih perkara yang lebih mudah.
Karena semua pendapat mazhab itu memiliki dasar dan dalil dari al-Qur'an dan
Sunnah, maka pertanyaannya bukan lagi pendapat mana yang benar, tapi pendapat
mana yang lebih cocok kita terapkan untuk kondisi yang kita hadapi.
Kalau soal kontroversi, ulama mana
yang tidak dianggap kontroversial? Semua ulama pada masanya pernah dianggap
fatwanya aneh dan kontroversial. Misalnya, Imam Syafi'i berbeda pandangan
dengan mayoritas ulama ketika mengatakan anak hasil zina boleh dikawini oleh
'bapak'nya. Ini pendapat yang bikin heboh. Atau bagaimana Imam Malik
berpandangan anjing itu suci, dan tidak najis. Ini berbeda dengan pandangan
jumhur ulama. Atau ada pendapat lain yang terkesan sepele tapi terdengar aneh.
Kalau anda berbohong saat berpuasa, apakah puasa anda batal? Menurut Imam Dawud
al-Zhahiri, puasa anda batal. Menurut jumhur ulama, tidak batal. Apakah saat
anda tersenym ketika sedang shalat, shalat anda batal? Iya, batal, menurut Imam
Abu Hanifah, dan tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau anda makan
daging unta, wudhu anda batal? Iya, batal, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tapi
tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau anda minum nabidz (selain dari
perasan anggur) dan tidak mabuk itu hukumnya halal? Iya, nabidz itu halal pada
kadar tidak memabukkan menurut Imam Abu Hanifah, tapi dinyatakan haram oleh
jumhur ulama baik mabuk atau tidak. Apakah yang haram itu hanya daging babi
saja atau semuanya termasuk lemak dan tulangnya? Jumhur bilang semuanya dari
babi itu haram, tapi Imam Dawud al-Zhahiri bilang hanya daging (lahm) nya saja
yang haram.
Contoh-contoh di atas bisa terus
berlanjut, dan semua ulama mazhab pernah berbeda dengan jumhur ulama. Dengan
kata lain, pendapat mereka dalam kasus-kasus tertentu dianggap aneh dan
kontroversial. Namun bukan berarti mereka pantas untuk kita cerca atau cemooh.
Sesuai hadits Nabi, jikalau mereka salah dalam berijtihad, mereka mendapat
pahala satu. Dan jikalau ijtihad mereka benar, maka mereka mendapat pahala dua.
Apapun hasil ijtihad mereka, mereka tetap mendapat pahala. Dan kita yang tidak
pernah berijtihad, dan hobinya cuma mencerca ulama, bukannya dapat pahala,
jangan-jangan malah dapat dosa.
Sebagai contoh bagaimana para Ulama
terdahulu berijtihad adalah cerita sebagai berikut :
Lelaki tua itu sudah sakit-sakitan,
dan calon pembeli tanah didampingi pengacara terus memaksa agar lelaki itu
menandatangani kontrak jual beli. Maka ditandatanganilah kontrak itu. Dua hari
kemudian lelaki itu meninggal, dan keluarganya baru tahu bahwa telah terjadi
jual beli. Pembeli tanah memiliki kontrak yang sudah sah di mata hukum dengan
harga yang sangat murah. Semuanya sah, dan tandatangan pun asli.
Keluarga menggugat ke Pengadilan.
Alasannya ada ketidakdilan dalam proses jual beli itu. Lelaki tua dan sekarat
itu tidak didampingi keluarga dan pengacara saat melakukan transaksi.
Pengadilan Inggris kebingungan menghadapi kasus yang terjadi tahun 1859 ini
(Clark v Malpas). Kalau berpegang pada aturan formal, transaksi dinyatakan sah,
tapi karena prosedurnya cacat dimana satu pihak mengambil keuntungan dari
kelemahan posisi pihak lain, maka transaksi dinyatakan tidak sah. Pengadilan memilih
opsi kedua berdasarkan konsep Equity. Transaksi dinyatakan batal.
Ribuan tahun sebelumnya, Imam Abu
Hanifah sudah menerapkan prinsip Equity ini dalam berijtihad. Qiyas (analogy)
kadangkala melahirkan hukum yang tidak adil atau kurang proporsional. Maka Imam
Abu Hanifah berpaling dari hukum qiyas yang lebih kuat (jali) menuju hukum
berdasarkan qyas yang lebih lemah (khafi). Dengan kata lain, dalil yang lebih
kuat dikecualikan atau dikhususkan karena hasilnya lebih mencerminkan ruh
al-tasyri'. Pengecualian dan pengkhususan ini dinamakan istihsan.
Dasar melakukan istihsan ini adalah
QS al-Zumar: 18: "yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik (ahsanah). Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." Dalam satu
riwayat dari Ibn Mas'ud, Rasul bersabda : "Apa yang dipandang baik oleh
umat islam, maka di sisi Allah juga dianggap baik" (HR Ahmad).
Para ulama berdebat mengenai
defenisi istihsan, seperti dipaparkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam
kitabnya Usul al-Fiqh al-islami, Jilid 2, 736-739. Bahkan keberatan Imam
Syafi'i terhadap istihsan disinyalir berpangkal dari perbedaan definisi itu.
Berbagai contoh pengecualian atau
pengkhususan menggunakan istihsan juga disampaikan oleh para ulama. Misalnya,
ada ulama yang menganggap tindakan Umar bin Khattab tidak memotong tangan
pencuri saat masa paceklik itu berdasarkan istihsan. Bahkan dalam contoh
modern: Dekrit Presiden Soekarno, Supersemar yang diberikan kepada Jenderal Soeharto
maupun Dekrirt Presiden Gus Dur membubarkan parlemen, semuanya bisa dianggap
sebagai contoh istihsan. Menyimpang dari aturan, tapi bertujuan kemaslahatan
bangsa.
Contoh lain: Seorang raja telah
menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadan. maka dikumpulkan semua ulama
dimana raja meminta fatwa. Semua ulama sepakat bahwa sesuai urutan kafarat
dalam hadis Nabi, maka raja harus membebaskan seorang budak. Namun ada satu
ulama yang justru memberikan fatwa berbeda. Ulama ini meminta raja berpuasa dua
bulan berturut-turut, padahal ini adalah opsi kedua jikalau tidak mampu
membebaskan budak.
Namun bagi ulama ini, kalau raja
hanya diminta membebaskan satu budak, maka begitu mudahnya raja besok melanggar
lagi ketentuan syariat. Bukan perkara susah buat raja untuk setiap hari
membebaskan budak. Untuk memberikan efek jera, maka ulama ini langsung
berpaling kepada opsi kedua, yaitu meminta raja berpuasa dua bulan
berturut-turut. Para ulama lain ribut, namun yang dilakukan oleh seorang ulama
yang berani tampil beda di depan raja ini adalah mengaplikasikan konsep
istihsan-nya Imam Abu Hanifah.
Begitulah...para ulama sejak dahulu
kala sudah dengan luar biasa memasukkan pertimbangan "baik dan buruk"
dalam mengeluarkan fatwa. Mereka tidak hanya bertumpu pada kekuatan dalil, tapi
juga sejauhmana keadilan dan kemaslahatan bisa terwujud. Dunia barat pun, baik
disadari atau tidak, sebetulnya sangat terlambat memahami "istihsan"
tersebut. Hukum Islam jauh lebih maju dalam melakukan pengecualian dan
pengkhususan dalil.
Sayang, saat ini, sebagian umat
Islam (khususnya di Indonesia; yang masih menjadi para pubertas agama) tidak lagi mempelajari ilmu usul al-fiqh yang luar biasa itu. Mereka
hanya dicekoki oleh para murabbi dan ustadznya: "cukup pakai Qur'an dan
Hadis. Kalau tidak ada dalil dari keduanya maka tinggalkan perkara ini."
Mereka sibuk menanyakan dalil, padahal para ulama sudah lebih dalam lagi:
bagaimana memahami dalil, bagaimana mengaplikasikan dalil kalau terjadi
kontradiksi, bolehkah mengecualikan dalil yang kuat dengan memakai dalil yang
lemah, bagaimana pula kalau tidak ada dalil sama sekali tapi ada kemaslahatan
di sana, dan seterusnya...
Kesimpulannya: ber-ijtihad tidak
sesederhana bikin telor ceplok.
Dan perbedaan pendapat itu biasa bahkan antar Ulama satu madzhab, jadi jangan begitu melihat yang berbeda terus dengan gampang nuduh bid'ah, JIL, bahkan sampai dibilang sesat atau musyrik. Ingat, yang berhak menilai hanya Allah saja dan kita selama meyakini bahwa yang kita lakukan ada dasarnya dengan rujukan Ulama terdahulu ya monggo2 saja, toh perbedaan itu rahmat. Yang penting bagaimana kita menjadi sebaik-baik manusia bagi mahluk Allah yang lain.
Wallahu a'lam bish showab
Comments
Post a Comment