Aqidah Yang Tergagap
Menjelang
akhir tahun 2016 saya dengan Sudrun melakukan perjalanan ke Louisville, Kentucky untuk
memenuhi niat menziarahi makam salah seorang pejuang kemanusiaan dan Islam di
negeri Paman Sam ini, yaitu Muhammad Ali.
Di Indonesia mungkin Muhammad Ali hanya dikenal sebagai petinju
legendaris, tetapi di negeri Obama yang segera menjadi negeri Trump ini, nama
Muhammad Ali bukan saja bergaung sebagai seorang petinju tetapi juga berkibar sebagai
panji sosok yang membela kemanusiaan, anti perang dan kebencian serta pejuang
keadilan yang dapat menjadi pembela bagi
kaum minoritas terlebih lagi dikenal sebagai pejuang agama Islam yang
moderat. Sudrun sih ingetnya waktu SD sekolah libur kalo pertandingannya Ali disiarkan sama TVRI.
Tapi bukan ini yang menjadi inti catatan saya sekarang. Yang akan saya kisahkan adalah bagaimana kemudian saya dan Sudrun bertemu seorang kawan lama di rumahnya ketika dalam perjalanan ini. Sang kawan ini dulu sama-sama dengan saya sekolah. Ya bandel-bandel juga, malah kalau saya masih ada bau ngajinya dikit, dia sih nggak. Cuman yang saya dengar beberapa tahun belakangan ini dia jadi rajin baca buku tentang agama. Malah baru pulang dari Mekkah, haji rek. Begitu ketemu terus peluk-peluk, cium pipi kanan kiri, memang sih kalau dari penampilan sudah pantes menjadi pejuang Islam (setidaknya menurut Sudrun). Tapi justru ini yang membuat saya koq malah khawatir. Bukan niatnya dalam beragama yang mengkhawatirkan, tapi caranya memandang agama sebagai tuntunan hidup yang mengkhawatirkan.
Awalnya
kami ngobrol masalah Donald Trump serta retorika-retorika kampanyenya yang
terbukti telah membuat munculnya keberanian kalangan kulit putih radikal untuk
menunjukkan kebencian mereka terhadap kaum kulit berwarna dan umat Islam di
Amerika Serikat. Kawan saya ini rupanya
benci sekali sama Trump. Semua unek2 dia
soal Trump tumpah keluar semua mulai dari yang benar sampai yang entah dia
dapat dari mana beritanya. Pokoknya,
asal Trump jelek dan gak bermoral dia telan semua sebagai berita yang
benar. Saya coba bilang bahwa apa yang
disampaikan pada saat kampanye belum tentu akan bisa diwujudkan semudah itu ya
tetep saja kawan saya keukeuh bahwa
Trump akan menghabisi umat Islam di Amerika.
Lalu perbincangan berkembang menjadi Ahok. Situasi dan adegan yang sama berulang
juga. Déjà vu, semua yang jelek tentang Ahok bagi kawan saya ini adalah
benar adanya. Walaupun berulang kali
saya ingatkan bahwa sebagaian yang dia ceritakan adalah tidak benar alias hoax,
ya kawan saya juga tetep saja keukeuh bahwa
si penista agama Islam (istilahnya kawan saya) itu ndak ada benernya
sedikitpun. Kebencian kawan saya
terhadap Ahok ini berkembang menjadi kebencian terhadap orang Cina. Rupanya bagi kawan saya ini mereka lah segala sumber penyebab rusaknya
ekonomi Indonesia, rusaknya generasi muda dan bagaimana Cina mau menguasai
Indonesia dengan PKI gaya baru nya. Saya
tersenyum walaupun dalam hati prihatin dengan kawan saya ini. Semua teori konspirasi yang beredar di dunia maya dipercayai sebagai
sesuatu yang benar.
Kemudian kawan saya bertanya
“Mas, sampeyan ikut demo membela fatwa MUI kemarin yang di Washington
DC nggak?”
“Nggak lah Cak, nopo melu-melu
demo, wong MUI ya gak perlu dan gak minta bantuan buat dibela juga koq”
“Lho koq…? Sampeyan gak Islami banget, mana semangat keislamannya? Gak islami bener sih sampeyan sekarang Mas? Dulu waktu sekolah yang gantiin Bu
Johar guru agama kalau beliau gak masuk kan sampeyan, koq sekarang malah
sampeyan kaya gitu?” langsung disergah aja saya sama dia…
“Ya, saya kan gak terlalu
sependapat juga sama MUI dalam dua fatwa terakhir, lagipula fatwa itu kan bukan
hukum positif, gak musti diikuti dan dituruti, gak musti dibela juga. Pak
Mahfud MD ya bilang gitu koq”
Kawan saya langsung panas rupanya
“Mas, saya yakin sampeyan tahu dalil-dalilnya yang digunakan MUI kan?
Kenapa nggak membela fatwa mereka? Sampeyan lebih membela kaum kafir?
Jangan-jangan sampeyan ini sudah saking liberalnya sampai-sampai meniru mereka.
Hati-hati Mas, meniru perbuatan mereka bisa digolongkan jadi kelompok mereka
juga. Sampeyan mau dikafirkan?”
Waah…udah mulai ikut-ikut FPI di
Solo nih, nanya mau dikafirkan segala.
Saya bilang “Yaaa…kalau dikafirkan ya tinggal
syahadat lagi, udah Islam lagi”
“Lhoo, koq enak? Gak bisa gitu dong Mas..”
“Kenapa gak bisa? Tadi gak ngikut
fatwa MUI terus dibilang gak boleh, gak Islami, kafir…sekarang saya syahadat supaya masuk Islam nggak boleh juga…Jadinya gak
Islami gak boleh, terus syahadat supaya Islam gak boleh juga, maunya gimana
Cak?”
“Ya… nggak bisa gitu Mas…” mulai bingung dan tergagap kawan saya
ini.
“Cak, syaratnya jadi orang Islam
itu apa? Ngucapin syahadat kan? Terus gak boleh juga saya ngucapin syahadat?
Lagian yang mengkafirkan bukan diri saya sendiri koq, saya kan dikafirkan oleh
orang lain kalau menurut gaya bahasa sampeyan.
Saya sendiri ndak pernah merasa gak percaya sama Gusti Allah dan Kanjeng
Nabi Muhammad sebagai Rasulullah.
Berarti saya hakikatnya gak pernah keluar dari agama Islam, karena
dibilang dikafirkan tadi saja, ya kalau dikafirkan ya tinggal syahadat
lagi. Lagian siapa yang mau mengkafirkan
itu? Memang asistennya Gusti Allah yang punya kuasa ngasih stempel di jidat
orang-orang kafir atau nggak? Zaman Rasulullah dulu ada orang yang karena mau
dipancung tiba-tiba mengucapkan syahadat, oleh Rasulullah dilarang dibunuh
karena sudah dianggap menjadi Muslim, walaupun sahabat-sahabat mengatakan bahwa
orang ini penipu karena mengucapkan syahadat agar tidak dibunuh. Namun,
Rasulullah mengatakan bahwa tidak ada yang tahu isi hati manusia selain
Allah. Rasulullah saja gitu, masa kita
terus ngasih stempel seperti asistennya Allah”
“Yaa..pokoknya nggak bisa gitu Mas…” lirih sahutan kawan saya kali
ini.
“Cak, belajar agama itu wajib dan
penting. Tapi, gurunya juga harus bener,
jangan asal comot dari Mbah Gugel atau Ustadz Brodkes. Sanad ilmu itu penting sekali Cak, karena
darimana sampeyan dapat ilmu maka gurunya yang mempertanggungjawabkan pengamalan
ilmu tersebut di hari perhitungan nanti.
Baca buku atau kitab soal agama jangan sepotong-sepotong, dibaca sampai
selesai, cari pembandingnya, tanya sama Kyai yang faham soal tersebut. Gak usah ikut-ikutan berfatwa kesana kemari, ilmunya belum sampe Cak. Jauh bener kita ini dari kualitas dan kemampuan sebagai Imam Mujtahid yang bisa ngasih fatwa, jadi ya kita sama-sama belajar aja dulu. Namanya masih sama-sama belajar ya ndak usah ngotot-ngototan Cak. Bicara soal fatwa MUI, Kyai Sahal Mahfudz
dulu tahun 2012 pernah diwawancara sama Tempo, saat itu beliau Ketua MUI. Menurut beliau fatwa MUI itu bukan
satu-satunya fatwa jadi tidak mengikat, lebih sebagai himbauan moral. Mengikat atau tidak itu soal keyakinan. Bahkan menurut beliau, MUI sendiri juga tidak
tahu apakah Allah menerima atau tidak hasil fatwa itu. Lha, Ketua MUI saja bilang gitu, lagian fatwa MUI yang dibela di Indonesia juga dipilih-pilih sesuai kepentingan yang demo koq Cak, misalnya fatwa soal haramnya merokok saja sampeyan gak
ngikut dan gak demo toh. Cak, dulu itu fatwa Imam Malik ada
yang tidak diterima oleh Imam Syafi’i sehingga Imam Syafi’i mengeluarkan
sendiri fatwanya. Bahkan fatwa Imam
Syafi’i saat masih muda dan bermukim di Iraq ada yang berbeda dengan fatwa
beliau ketika sudah lebih dewasa dan berada di tempat yang berbeda yaitu di
Mesir sehingga dikenal istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam Madzhab Syafi’i. Fatwa Imam Syafi’i sendiri di kemudian hari
ada yang tidak disetujui oleh Imam Ahmad bin Hambal sehingga berdiri madzhab
Hambali. Sampeyan kan tau, Islam kita
ini selalu mengakunya sebagai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengakui
madzhab yang 4 yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Kalau di dalam satu madzhab saja bisa ada
khilafiyah atau perbedaan pendapat, bagaimana pula dengan madzhab yang
lain. Padahal mereka adalah Ulama-ulama yang luar biasa, gak bisa dibandingkan dengan ustadz-ustadz baru di Indonesia yang kaya udah paling hebat sampe berani nyalah-nyalahin fatwa Ulama-Ulama tersebut. Toh, para Ulama itu tetap saling menghormati fatwa yang berbeda dan gak gontok-gontokan. Gitu Cak, jadi gak usah terlalu
ngotot lah sama yang nggak ikut-ikutan demo ngebela fatwa MUI itu. Berbeda pendapat itu biasa, rahmatullah. Toh ujung-ujungnya kasus gituan di negara kita itu musti
dipolitisir juga”
“Iya Mas, tapi sampeyan tahu kan bagaimana bencinya orang kafir itu
terhadap kita? Betapa mereka itu ingin menghancurkan Islam, merusak Islam dan
generasi mudanya. Mereka itu menyimpang
betul, kaum kafir sekarang itu berbeda dengan ahli kitab yang dimaksud
Qur’an. Mereka itu sesat betul dan musuh
kita. Sampeyan gak merasa apa?”
masih ngotot juga kawan saya ini…
“Cak, sampeyan ini beragama koq
dipake jadi landasan buat membenci orang lain sih? Mereka itu mahluk Allah
juga, sesama manusia yang oleh Allah diperintahkan untuk saling kenal
mengenal. Gimana mau kenal kalo belum kenalan aja terus udah dijadiin musuh? Mereka itu saudara kita juga, walaupun
ketemunya mungkin di Nabi Adam sana. Gak
cape tah sampeyan membenci orang selain Islam? Malah sampeyan saya lihat udah mulai
membenci juga orang Islam yang berbeda pendapat sama sampeyan Cak. Ingat Cak, selain ayat-ayat yang biasa
dipakai oleh orang-orang untuk memusuhi dan membenci orang kafir itu, Allah juga berfirman
di dalam Surat Al Baqarah ayat 216 bahwa “Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.” Disebutkan
juga di Surat Al Maidah ayat 8 “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Adil itu berarti kita juga jangan bicara bohong
tentang mereka, kalau baik ya baik, kalau jahat ya jahat. Menyebarkan berita bohong itu fitnah. Imam Syafi’i selalu memerintahkan kita untuk
tabayyun, mengkonfirmasi, pada saat menerima suatu berita. Kalau kita ikut menyebarkan berita yang kita
tidak mampu mengkonfirmasi dan ternyata berita itu bohong, jadinya kita ikut
menyebar fitnah Cak. Saya juga tahu
bagaimana pembenci Islam itu berupaya menghancurkan Islam, tapi tidak semua
orang yang beragama lain itu pembenci Islam Cak. Jaman Rasulullah dulu yang ngasih suaka sama orang Islam pertama ya Raja Ethiopia yang Nasrani itu, jadi ya dari dulu pun nggak semua yang berbeda itu lantas jadi musuh”.
“Sampeyan tahu bagaimana
mereka merusak aqidah orang Islam supaya jadi sesat?”
“Cak, yang merusak aqidah kita itu ya kita sendiri koq”
“Ngawur sampeyan….mana bisa
orang baca Qur’an terus rusak aqidahnya, mana bisa orang yang mau menegakkan
hukum Allah koq malah rusak sendiri seperti kata sampeyan..? Ngawuuur..sampeyan
betul-betul mulai melenceng Mas”
“Eh Cak, sampeyan percaya nggak kalau Sayyidina Ali bin Abi Thalib karomallahu
wajhah itu salah satu sahabat Rasulullah yang utama, orang yang bener,
lurus dan insya allah masuk surga?”
“Iya dong, apa hubungannya
Mas..?”
“Sampeyan tahu bahwa Sayyidina
Ali itu meninggalnya dibunuh?”
“Iya..”
“Menurut sampeyan yang bener dan
bakal masuk surga nanti Sayyidina Ali atau pembunuhnya?”
“Yaa..nggak tau Mas, itu rahasia Allah”
“Yaa kira-kira aja lah, mana yang lebih pantes buat diikutin sama kita? Sayyidina Ali atau pembunuhnya?”
“Ya Sayyidina Ali lah Mas..”
“Sampeyan tahu pembunuhnya
siapa?”
“Kenapa memang Mas?”
”Saya cerita dikit soal pembunuh
Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sayyidina Ali bin Abi Thalib bukan dibunuh oleh orang kafir Cina, orang Nasrani, orang Yahudi atau orang Majusi penyembah api. Sayyidina
Ali bin Abi Thalib wafat tanggal 21 Ramadhan akibat tebasan pedang seorang yang
bernama Abdurrahman bin Muljam Al Murodi saat shalat subuh 19 Ramadhan. Uniknya
sang pembunuh ini melakukan aksinya sambil berkata,
“Laa hukma illa lillah ; Hukum itu milik Allah, wahai
Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.”
Tidak berhenti sampai di situ,
saat melakukan aksinya ini Ibnu Muljam juga tidak berhenti mulutnya
mengulang-ulang ayat 207 surat Al Baqarah yang artinya,
“Dan di antara manusia ada orang
yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
Tatkala khalifah Ali bin Abi
Thalib akhirnya wafat, Ibnu Muljam pun dieksekusi mati dengan cara diqishas.
Proses qishasnya pun bisa membuat kita tercengang karena saat tubuhnya telah
diikat untuk dipenggal kepalanya, ia masih sempat berpesan kepada algojo yang
mendapat tugas melakukan eksekusi,
“Jangan penggal kepalaku
sekaligus. Tapi potonglah anggota tubuhku sedikit demi sedikit hingga aku bisa
menyaksikan anggota tubuhku disiksa di jalan Allah.”
Sebegitu kuatnya keyakinan Ibnu Muljam yang berpendapat bahwa membunuh Ali bin Abi Thalib yang nota bene salah satu sahabat yang dijamin masuk surga, menantu (suami Sayyidah Fathimah) dan saudara sepupu Rasulullah dan ayah dari Hasan dan Husein, dua pemimpin pemuda ahli surga, sebagai tindakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibnu Muljam sejatinya adalah figur lelaki yang shalih, zahid dan bertaqwa. Bukan lelaki bengal yang buta sama sekali terhadap ilmu agama. Di wajahnya terlihat dengan nyata jejak sujud. Ia juga hapal Al Qur’an dan sekaligus sebagai guru yang berusaha mendorong orang lain untuk menghapalkannya. ‘Umar bin Khatthab pernah menugaskannya ke Mesir demi mengabulkan permohonan ‘Amr bin ‘Ash yang memohon kepada beliau untuk mengirim ke Mesir figur yang hafal Al Qur’an untuk mengajarkannya kepada penduduk Mesir. Tatkala ‘Amr bin ‘Ash meminta,
“Wahai amirulmukminin,
kirimkanlah kepadaku lelaki yang hafal Al Qur’an untuk mengajari penduduk
Mesir, “
‘Umar menjawab, “Saya mengirimkan
untukmu seorang lelaki bernama Abdurrahman bin Muljam, salah seorang ahli Al
Qur’an yang aku prioritaskan untukmu dari pada untuk diriku sendiri. Jika ia
telah datang kepadamu maka siapkan rumah untuknya untuk mengajarkan Al Qur’an
kepada kaum muslimin dan muliakanlah ia…!.”
Coba sampeyan tanya Cak, Ulama atau Kyai manapun Insya Allah sependapat bahwa meskipun Ibnu Muljam hafal Al Qur’an, bertaqwa dan rajin beribadah namun semua itu tidak bermanfaat baginya. Ia mati dalam kondisi su’ul khatimah, tidak membawa iman dan Islam akibat kedangkalan ilmu agama yang dimilikinya sehingga melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama Islam namun justru mengklaim semua itu dalam rangka membela ajaran Allah dan Rasulullah. Perhatikan kata-kata dia ketika membunuh Sayyidina Ali Cak..."La hukma illa lillah; Tidak ada hukum selain dari Allah"...
Nah, golongan Abdurrahman Ibn Muljam itulah yang disebut oleh para Ulama sebagai kaum Khawarij.
Hadits Rasulullah riwayat Ali ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia yang terbaik. Mereka membaca Al Qur'an, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, secepat anak panah meluncur dari busur. Apabila kalian bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka berpahala di sisi Allah pada hari kiamat. (Shahih Muslim)
“Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka
membaca Alquran, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan mereka tidak ada
apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu dibandingkan dengan shalat dan
puasa mereka tidak ada apa-apanya. Mereka membaca Alquran dan mengiranya
sebagai pembela mereka, padahal ia adalah hujjah yang menghancurkan alasan
mereka. Shalat mereka tidak sampai ke tenggorokan, mereka lepas dari Islam
sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya.” (HR. Abu Dawud).
“Akan
ada di akhir zaman suatu kaum yang usianya muda, dan pemahamannya dangkal,
mereka mengucapkan perkataan manusia yang paling baik (Rasulullah), mereka
lepas dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, iman mereka
tidak sampai ke tenggorokan.” (HR Bukhari).
Para Ulama sependapat bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah dalam hadits-hadits tersebut adalah kaum Khawarij. Mereka beribadah berpuasa siang hari, sholat malam tidak terputus, hafal Al Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka, karena mereka tidak dapat memikirkan hakikat agama yang dijalankannya dan tidak bisa menyelami dengan hati. Ulama-ulama sekarang menganggap ISIS dan Al Qaedah adalah Khawarij baru yang dengan mudah menumpahkan darah orang lain yang berbeda faham atau agama dengan mereka. Nah, ISIS dan Al Qaedah ini awal faham nya secara fiqh adalah faham Wahabi Salafi, makanya munculnya juga di daerah sono Cak. Sampeyan kan tau, di Saudi Arabia khususnya dan jazirah sekitarnya faham aqidah yang dikembangkan dan dipegang oleh penguasanya adalah faham Wahabi itu. Faham ini dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dengan banyak berpegang kepada fatwa Imam Ibnu Taimiyyah pada masa awal-awal fatwa nya dan hanya merujuk pada hadits-hadits yang menurut Al Albani sebagai hadits shahih. Faham ini awalnya digunakan oleh Raja Saudi Arabia bekerja sama dengan Inggris untuk menghentikan pengaruh kekhalifahan Ottoman Turki di jazirah Arab pada masa awal berdirinya kerajaan Saudi Arabia. Dilihat dari sejarahnya wajar kalau faham ini menjadi keras karena digunakan untuk landasan berperang dengan kelompok lain secara politis. Nah, sekarang ini banyak ustadz-ustadz muda di Indonesia yang gitu, belajar sebentar ke Arab terus berpegang sama faham Wahabi. Padahal faham Wahabi ini secara aqidah dekat dengan Khawarij, ndak mau menerima fatwa yang berbeda dari Ulama yang berbeda madzhab, jadinya asal berbeda sama mereka semua pasti serba sesat dan bid’ah. Ustadz-ustadz muda ini lantas pulang-pulang ke Indonesia menyalahkan semua praktek beragama yang selama ini berjalan di Indonesia termasuk Kyainya, disesat-sesatkan, dibid’ah bid’ahkan lalu ujung-ujungnya dikafirkan. Lha, lama-lama kalau semua bid’ah ya ujung-ujungnya kafir, lalu dituduh gak menjalankan hukum Allah.
Inget lho Cak, selain hadits Rasulullah yang tadi ada juga hadits-hadits ini:
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan
atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga
ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela
Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan
menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah)
bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik,
penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu
Hibbân dan al-Bazzâr. Disahihkan oleh Albani dalam ash-Shahîhah).
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah
kekufuran” (Muttafaq alaih)
Apalagi ada
firman Allah juga “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain,
boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” [Al Hujuraat 11-12]
“……”
kawan
saya ini terdiam sekarang.
“Cak, soal nista menista agama itu dari dulu sudah ada. Para orientalis yang berasal dari dunia barat sejak dulu berusaha
menjelekkan dan menista Rasulullah. 3 berita
kebohongan utama yang selalu mereka kedepankan tentang Rasulullah adalah bahwa
Rasulullah itu orang gila yang berpenyakit ayan, bahwa Rasulullah itu tukang
kawin dan pedofil lalu bahwa Rasulullah itu haus darah dan pembenci kemanusiaan
serta ummat yang beragama lain. Saya
benci sekali dengan kebohongan-kebohongan itu, karena itu digunakan kaum
orientalis untuk menistakan Rasulullah yang mulia dan mengabarkan bahwa agama Islam itu agama kacangan. Padahal, Rasulullah itu orang yang paling mulia ahlaqnya, bahkan menurut Siti Aisyah ummul mu'minin bahwa Rasulullah itu ahlaqnya adalah Qur'an yang berjalan. Beliau orang yang paling tegas sekaligus paling sabar. Beliau walaupun berperang juga melawan kaum kafir saat diperlukan tetapi beliau justru menolak menghukum kaum Thaif yang melempari beliau dengan batu, Rasulullah itu walaupun dihina setiap hari oleh Yahudi tua di pasar, tetap menyuapi dia
setiap hari, dilempari air najis setiap hari oleh tetangganya tapi ketika
tetangganya sakit, Rasulullah malah membesuk.
Kemuliaan Rasulullah justru ditunjukkan dengan menjaga aqidah sekaligus mencintai dan menjaga
hubungan baik dengan orang-orang yang membenci beliau.”
“Saya
juga ya gak setuju Mas sama para orientalis itu”.
“Tapi Cak, sampeyan setidaknya setuju pendapat
mereka yang terakhir bahwa Rasulullah itu haus darah dan menyebarkan agama Islam dengan peperangan”
“Ah...ya
nggak dong...”
“Lha, itu sampeyan senengnya musuhin orang
lain, bawaannya maunya perang mlulu sama orang kafir dan berbeda pandangan, berarti menurut sampeyan
mengikuti Sunnah Rasulullah itu ya musuhan terus sama orang
lain yang berbeda agama dan berbeda pendapat, bahkan kalau perlu sampe perang dan bunuh-bunuhan sama mereka, persis sama seperti yang disampaikan kaum orientalis...”
“…ya
nggak gitu Mas maksudnya…”
“Sampeyan koq malah sejalan pendapatnya
sama kaum orientalis yang memfitnah Rasulullah sih Cak...”
“……" terdiam lagi kawan
saya
“Cak, belajar agama itu sama seperti
belajar yang lain, banyak bagian-bagiannya. Sama seperti orang bikin sayur sop
ayam. Sampeyan belajar bikin sop ayam
gak bisa cuman di bab nyembelih dan motong-motong ayam tanpa belajar soal
bumbunya, soal bikin kuahnya, tanpa belajar bagaimana dengan sayurannya, tanpa
belajar penyajiannya. Tujuan akhirnya
untuk menjadi kebahagiaan orang yang makan sop ayamnya juga perlu diketahui. Lha kalau cuman nyembelih dan motong-motong
ayam aja ntar gak jadi sayur sopnya dong, gak bisa dihidangkan ke orang lain. Saya seneng sampeyan sekarang memperdalam ilmu agama. Tapi, mbok ya jangan bab perang terus yang dibaca, banyak bab-bab lain yang harus juga dibaca dan dipelajari supaya pemahaman Islam nya jadi utuh. Kalau kata Gus Mus baru belajar sampai bab marah-marah terus berenti belajarnya, jadinya bisanya ya cuman marah-marah, nggak ngerti bahwa setelah bab marah ada bab lain tentang cinta. Pahami juga bahwa betapa dalam satu hal bisa ada beberapa fatwa yang berbeda dari para Ulama bahkan dari Ulama yang satu madzhab. Pedomani bagaimana para Ulama yang berbeda fatwa itu tetap saling menghormati dan menghargai. Saya sebagai teman mengingatkan saja, supaya
sampeyan jangan tergelincir oleh sesuatu yang kelihatannya bercahaya padahal
akan menjatuhkan sampeyan. Orang
tergelincir di lantai yang licin dan mengkilat bercahaya Cak, bukan di lantai
yang kusam, padahal tujuannya menyebrangi ruangan. Di lantai yang kusam mungkin
orang malah bisa berlari dan selamat menyebrangi ruangan. Di lantai yang licin bercahaya orang mungkin
banyak yang tergelincir dan tidak sampai menyebrangi ruangan karena terlena
oleh kilauan semu. Sekarang di Indonesia
banyak Cak yang gitu, dikira sudah berbuat yang Islami banget, bercahaya dan mulia
deh…ternyata ya sebenernya bisa diperdebatkan atau bahkan ujung-ujungnya bisa keliru. Tapi, karena merasa sudah mulia itu
jadinya nuduh dan mengatai yang lain yang berbeda pendapat sebagai sesuatu yang tidak mulia dan tidak Islami, sesat dan kafir. Rasulullah mengajarkan
bahwa beragama itu untuk mencintai Cak, bukan untuk membenci. Saya gak ikhlas kalau sampeyan terbawa-bawa gitu”.
“……”
Setelah itu kami hanya terdiam, saya tidak
tahu apa yang difikirkan oleh kawan saya itu.
Sudrun juga yang dari tadi diam saja terus nyalakan rokoknya…
***
Akhirnya kami berpamitan, sepanjang
perjalanan pulang saya dengan Sudrun terdiam.
Saya berusaha berdoa “Ya Allah, jadikan saya untuk bisa mengikuti
Rasulullah, mahlukMu yang paling mulia untuk dapat mencintai mahlukMu yang lain
apapun itu dan siapapun dia…”
Tiba-tiba Sudrun bilang
“Saya
itu sebenernya mencintai mahluk-mahluk Allah yang lain, apalagi yang namanya
Siti Aminah putrinya Haji Cholil…tapi koq bapaknya benci bener sama saya ya
Mas..”
“Lha ya jelas aja, wong sampeyan dulu
kerjanya nyolongin jambunya Haji Cholil, koq sekarang pengen dapet anaknya..”
Kami pun melanjutkan lamunan kami,
saya lirik Sudrun lagi menerawang liat langit, entah apa yang dilamunkannya,
entah Siti Aminah, entah Haji Cholil atau mungkin malah mikirin jambunya Haji
Cholil…..
Dia kan gitu orangnya…
Comments
Post a Comment