Menjadi Pejabat : Amanat atau Rizki

Tulisan ini sesungguhnya ditulis pada bulan Oktober 2009, namun saya lengkapi pada bulan November 2015.  Kenapa? Karena baru saja kemarin (November 2015) saya mendengar tentang berita seorang Kapolres yang membantu menegumpulkan biaya dan membangun sebuah rumah bagi satu keluarga yang tidak mampu.  Sedemikian tidak mampunya sehingga sang Ibu sempat memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan dengan mendemonstrasikan seolah-olah sang Ibu sedang memasak makanan bagi mereka.  Di satu sisi, pada hari yang sama diramaikan oleh media-media Indonesia tentang betapa Presiden, para wakil rakyat dan seluruh pegawai negeri akan menerima THR.  Ya, Tunjangan Hari Raya yang sangat diidamkan oleh para pegawai negeri kelas menengah dan bawah untuk memenuhi kebutuhan duniawi pada saat hari raya agamanya.  Ironis, orang-orang yang notabenenya sudah berkecukupan terus dilimpahi dengan bantuan ekonomi sedangkan yang memasak batu hanya dapat meratapi nasibnya saja.  Apa yang salah di negeri ini?



 Beberapa waktu yang lalu kita sering membaca dan menonton berita tentang jabatan, entah itu pelantikan jabatan Presiden dan wakilnya, para Menteri, anggota DPR, pergantian pejabat Kepolisian, TNI, Gubernur, Walikota dll...yang jelas banyak sekali pembicaraan seputar pergantian jabatan dan pejabatnya serta pro dan kontra dari orang yang mendukung dan yang menolak. Apalgi saat ini sudah menjelang Pilkada, sehingga daerah yang tidak ikut Pilkada seperti DKI Jakarta pun sudah ikut-ikutan ingin menjatuhkan atau mengganti Kepala Daerahnya.  Kita juga melihat perbagai polah dari para mereka yang mendapat jabatan baru dan yang kehilangan jabatannya karena memang sudah waktunya diganti ataupun karena ada kasus. Melihat orang-orang yang baru mendapat jabatan (para pejabat) kita selalu melihat keriangan dan kegembiraan, sementara yang diganti ada yang berusaha terlihat gembira tapi ada juga yang terlihat tidak ikhlas. Bahkan diantara orang yang ditunjuk menjadi pejabat (yang berkaitan dengan mengurusi masyarakat alias ummat di level yang tinggi seperti Menteri) ada yang sampai menangis bahagia dan melakukan sujud syukur saking gembiranya. Yang lain mengadakan acara selamatan dan syukuran atas anugerah jabatan yang diterimanya sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rizki dan karunia Nya. Bagus, karena Tuhan sendiri memerintahkan manusia untuk bersyukur kepadaNya bila ingin nikmatnya ditambah, dan orang yang tidak bersyukur kepada Tuhan termasuk orang-orang yang celaka. Alhamdulillah mereka masih ingat untuk bersyukur.

Tapi bukan itu yang menjadi unek-unek hati saya...

Terus terang saya suka merasa tidak sreg melihat orang yang ditunjuk sebagai pejabat lalu bersyukur luar biasa kepada Tuhan. Kita tahu cerita tentang bagaimana Umar bin Khattab r.a menangis karena takut akan pertanggung jawaban yang harus diembannya ketika ditunjuk sebagai Khalifah (bukan menangis bahagia lho..). Lalu saya jadi ingat cerita lain tentang Umar bin Khattab r.a. Cerita ini sering diceritakan oleh ayah saya waktu saya kecil dan terus membekas sampai sekarang, saya yakin yang lain sudah tahu dan pernah mendengar tentang cerita ini :

Umar bin Khattab r.a sering sekali melakukan inspeksi ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.

Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.
Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”
Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….”
Dengan wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”.
Setibanya di tenda sang Ibu, Umar memasakkan gandum tersebut dan menunggui keluarga tersebut menikmati makanan.  Kemudian beliau berucap agar Ibu tersebut ke Madinah untuk menemui Umar guna mendapatkan bagian dari Baitul Mal sebagai penunjang hidup.
Ketika Ibu tersebut esok harinya ke Madinah, sungguh terkejut melihat bahwa yang ditemuinya adalah Khalifah Umar bin Khattab yang semalam telah dikutk dan dicaci maki olehnya.  Sehingga dengan ketakutan Ibu tersebut menemui Khalifah dan memohon maaf atas ucapannya semalam.  Namun justru Khalifah Umar bin Khattab yang kemudian berucap "Ibu, sungguh anda tidak bersalah, saya lah yang bersalah dan harus meminta maaf atas kelalaian saya dan berterima kasih kepada Ibu yang telah mengingatkan saya atas kekhilafan saya sebagai Khalifah".
Subhanallah.

Cerita ini mengingatkan saya juga tentang Jenderal Sudirman.  Pada suatu malam di tahun 1945, beliau pulang ke rumahnya di Cilacap dari Ambarawa.  Hal ini terjadi sebelum palagan Ambarawa yang terkenal itu.  Saat itu Jenderal Sudirman menemui istrinya dan dengan berat hati menyampaikan kepada istri beliau untuk meminjam perhiasan yang dimiliki oleh istrinya. Ketika beliau ditanya oleh istrinya "untuk apa?", beliau menjawab bahwa perhiasan itu akan dijual untuk mendukung biaya perjuangan yang notabenenya adalah untuk membeli makanan bagi prajurit selama pertempuran. Seketika itu juga istri beliau memberikan seluruh perhiasan yang dimilikinya, yang lebih mengejutkan bahwa istri beliau memberikan mas kawinnya untuk dijadikan juga sebagai bantuan biaya untuk mendukung suaminya dalam berjuang.

Apa yang membedakan pejabat-pejabat seperti Umar bin Khattab atau Jenderal Sudirman dengan pejabat sekarang ?

Perbedaan yang paling mendasar adalah pada cara memandang jabatan. Umar bin Khattab r.a dan Jenderal Sudirman memandang jabatan adalah sebuah amanat dan tidak memandangnya sebagai sebuah rizki atau anugrah yang patut disyukuri. Sementara pejabat sekarang di negeri ini lebih melihat jabatan sebagai sebuah rizki (kadang-kadang saja sebagai amanat).
Bagaimana sih perbedaannya?

Dengan memandang jabatan sebagai sebuah amanat, maka yang menjadi dasar bagi seluruh kebijakan dan tindakan adalah nilai pertanggung jawaban yang akan dituntut baik di dunia maupun di akhirat nanti. Sehingga dalam pikiran dan perilaku mereka tidak terbersit sedikitpun niat untuk berbuat yang menyimpang apalagi melakukan korupsi untuk kesenangan pribadi. Yang dilakukan adalah bekerja dan berupaya bahkan bila perlu hingga mengorbankan milik pribadi untuk kemaslahatan atau kebaikan masyarakat yang dipimpinnya. Tidak terbersit sedikitpun di benak mereka untuk menyenangkan diri sendiri dan keluarganya sebelum masyarakat yang dipimpinnya sejahtera dan bahagia.  Amanat akan disadari sebagai titipan yang akan diminta kembali dengan bunganya yaitu pertanggungjawaban.  Pemberi amanat yaitu Allah akan menuntut pertanggungjawaban dari sang penerima amanat.  Bahkan para pendompleng pun akan ikut menuntut sang penerima amanat.  Para pemimpin yang amanat akan selalu menangisi nasibnya sebagai penerima amanat karena rasa takut akan tuntutan yang nanti dihadapi.  Sehingga para pemimpin dalam golongan ini akan selalu bekerja keras dengan keikhlasan hati dan kesungguhan untuk memenuhi amanat jabatan yang diemban.  Lihatlah bagaimana Gus Mus menangis pada saat Muktamar NU tahun 2015 karena beliau merasa tidak mampu memenuhi amanat yang diemban, padahal saat itu seluruh warga NU menyadari bukan beliau yang lalai tetapi panitia.  Toh tetap saja beliau merasa bahwa itu tanggung jawab beliau sehingga beliau tidak bersedia untuk diangkat menjadi Ra'is NU berikutnya walaupun sudah diminta oleh tim formatur yang terdiri atas para Kiai dan Ulama yang kadar keikhlasan dan ilmunya tidak main-main.

Sebaliknya, memandang jabatan lebih sebagai sebuah rizki daripada sebagai sebuah amanat sangat berpotensi menimbulkan tindakan yang menyimpang. Seseorang yang melihat bahwa jabatan adalah rizki akan merasa bahwa dia mendapat jabatan atas hasil upaya, doa dan kerja kerasnya untuk berkarir. Pemikiran seperti ini berpotensi menimbulkan rasa sombong dan takabur bahwa dia layak, lebih baik dan pantas menduduki suatu jabatan daripada orang lain yang tidak lebih baik darinya. Ingat, dosa pertama yang dilakukan Iblis adalah sombong dan takabur.  Orang yang memandang bahwa dengan menjadi pejabat berarti mendapat rizki akan menikmati keberadaan dirinya sebagai pejabat dengan berbagai fasilitas yang "dirasa menjadi hak" nya.  Bahkan, bisa menimbulkan rasa "kekurangan atas hak" yang patut didapatkannya sebagai seorang pejabat.  Yang lebih celaka lagi cara pandang ini berpotensi juga untuk menimbulkan pemikiran aji mumpung. Mumpung lagi menjabat maka semua yang dikeluarkan dan dikerahkan untuk mencapai posisi itu harus bisa balik. Akhirnya yang dilakukan dan dipikirkan hanyalah bagaimana caranya supaya bisa balik modal. Apalagi ditambah tekanan dari istri atau saudara untuk "menolong" memenuhi keinginan yang sifatnya materi. Jangankan menjalankan amanat dengan baik, lha wong yang dipikirkan hanya diri sendiri dan keluarganya saja koq....apalagi istrinya bukan semodel istri Jenderal Sudirman yang justru mengikhlaskan haknya juga untuk membantu suaminya dalam mengemban amanat.

Mudah-mudahan setelah sibuk melaksanakan syukuran para bapak-bapak yang mengemban amanat itu ingat tentang pertanggung jawaban yang akan diminta dan ingat bahwa amanat yang diembannya itu berat sehingga mereka bekerja dengan ikhlas untuk kemaslahatan masyarakat. Demikian juga untuk teman-teman saya yang sedang atau akan segera menjadi pejabat mudah-mudahan ingat bahwa kebahagiaan dan kemaslahatan anggota yang dipimpinnya merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebagai amanat.

--***--

Si Bahlul bilang "Saya mau nyoba masak batu deh..mumpung beras di rumah juga udah habis dan saya lagi bokek...siapa tau ada Gubernur atau Walikota yang bawain beras buat saya..."


belum tau dia....jaman sekarang mending nggosok batu akik

Comments

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA