Ibu

Robbighfirli, waliwalidayya, warhamhuma kama robbayani soghiro ;
Ya Allah, ampunilah kedua orang tuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami ketika kami masih kecil.


2 hari terakhir ini saya sedang ingat terus kepada Ibu (almarhumah). Selalu muncul perasaan sedih, haru, perasaan berdosa dan kangen kepada Ibu. Dulu, setiap sedang dalam masalah, tanpa diberitahu oleh saya pun Ibu pasti menelpon ke kantor, menanyakan kabar dan bercerita tentang betapa kangennya Ibu pada anak-anaknya yang berada di kota lain. Selalu terbayang ketika sedemikian bangganya Ibu melihat kakak saya lulus kuliah, ketika melihat saya dilantik menjadi Perwira dan selalu terbayang juga raut wajah Ibu yang sedih ketika melihat anaknya kecelakaan, ketika melihat adik saya sakit atau bahkan ketika kami bersedih hanya karena kalah bermain bola.




Seringkali ketika saya ingat kepada Ibu, saya suka menitikkan air mata. Mungkin dikarenakan dari kakak dan adik yang lain selalu dibilang saya lah anak kesayangan Ibu. Teringat 3 hari yang lalu melihat foto-foto saya ketika berumur 5 tahun mengalami kecelakaan ditabrak vespa, kemudian di beberapa foto itu terlihat saya yang sedang tidur dengan kepala di perban dan kaki tangan yang dibalur paramkocok, sementara Ibu sedang duduk sambil memegang kipas untuk mengipasi saya. Ada juga foto ketika saya lulus pendidikan dasar prajurit dan diterima di Akmil ketika itu Ibu terlihat menangis sambil memeluk saya.

Mungkin perasaan saya yang selalu sentimentil tentang Ibu karena ketika Ibu sakit dan meninggal saya tidak bisa menemani. Ketika itu saya berada di Canungra (kurang lebih 40 km dr Goldcoast, Australia) untuk mengikuti pendidikan. Pada Idul Adha tahun 2001, saya menerima kabar dari kakak yang sedang kuliah juga mengambil program S-3 di Brisbane bahwa Ibu masuk rumah sakit karena stroke yang kedua. Ibu mengalami stroke yang pertama pada thn 1998. Kondisi Ibu saat itu dikabarkan cukup kritis dan hanya dapat berkomunikasi dengan tulisan saja (tidak dapat berbicara). Tepat satu minggu setelah itu, ketika jam istirahat, kakak saya memberi kabar bahwa Ibu meninggal. Setelah saya dan kakak berkoordinasi untuk pulang dan sudah mendapat ijin dari pihak sekolah maupun kedutaan, kakak saya menelpon kepada Ayah dan mendapat berita bahwa semalam sebelum Ibu meninggal, Ibu menulis pesan bila terjadi sesuatu pada Ibu, agar kakak dan saya tidak usah pulang dan agar melanjutkan sekolah saja agar jadi "orang". Menangis rasanya hati ini, kemudian saya hanya meminta izin untuk mengadakan tahlilan bersama kakak di Brisbane. Akhirnya saya hanya bisa berziarah ketika mengadakan tahlilan 40 hari meninggalnya Ibu. Pada saat itulah, saya hanya dapat menemui secarik kertas yang sudah mulai lusuh berisi tulisan tangan Ibu yang terlihat bahwa betapa Ibu menulis dengan susah payah kata-kata " Kang, (Ibu memanggil Bapak dengan panggilan Kang) kalau ada apa-apa dengan saya nanti, Syafiq (kakak saya) dengan Nafis tidak usah dipanggil pulang, biar saja mereka sekolah yang bener biar jadi orang, jangan ngerepotin mereka". Duh, Ibu....

Beberapa kali saya menangis mengenang Ibu yang sedemikian sayangnya kepada kami anak-anaknya, yang betapa ingin hatinya melihat anak-anaknya menjadi "orang" agar tidak hidup susah seperti Ibu. Pernah salah seorang teman saya berkata "Tentara koq nangis..". Saat itu saya hanya menjawab "Biarlah, toh tangisan ini juga untuk Ibu saya, dan kalau tentara tidak bisa menangis bagaimana dia bisa merasakan penderitaan rakyat, apa bedanya dengan robot tempur yang tidak punya perasaan".

Sampai saat ini saya masih suka menyesali kebodohan saya karena jarangnya saya menelpon Ibu, menengok Ibu dan memenuhi keinginan-keinginannya yang seringkali hanya sepele saja. Selalu Ibu yang menelpon duluan, dan selalu juga Ibu menelpon ketika saya berada dalam kebimbangan atau kesulitan. Padahal Ibu tidak pernah meminta apa-apa, paling hanya minta sering ditelpon bahkan tidak pernah Ibu meminta dibawakan oleh-oleh kalau saya sempat menengok Ibu di rumah. Tapi seringkali perasaan malas atau berfikir "Ibu ini kenapa sih, minta di telpon terus, padahal Ibu kan tau saya repot dengan tugas" itu muncul dan akhirnya membuat saya tidak jadi menelpon atau lupa menelpon atau pura-pura lupa untuk menelpon. Padahal apalah artinya waktu 5 menit bagi saya yang bisa saya gunakan untuk menelpon Ibu, toh bisa saya lakukan waktu istirahat, tapi ya tidak saya lakukan juga sampai akhirnya Ibu yang menelpon. Saya termasuk anaknya yang jarang menelpon duluan, biasanya setelah sekitar 2-3 bulan baru saya berinisiatif menelpon Ibu, mungkin karena saya merasa Ibu tidak pernah juga marah karena saya jarang memberi kabar. Bodohnya, baru sekarang saya merasakan betapa Ibu pasti merasa kangen dengan saya dan khawatir tentang saya yang berada jauh dari rumah.

Buat teman-teman yang masih memiliki Ibu, pengalaman saya ini mungkin bisa menjadi pembelajaran bahwa seorang Ibu adalah seorang Ibu yang akan selalu terikat dengan anak-anaknya tanpa pamrih. Bahwa seorang Ibu pasti menunggu kabar dari anaknya walaupun cuman sekedar menyapa dan bertanya tentang keadaan nya. Hargai, hormati dan sayangilah Ibu karena ketika Ibu sudah meninggalkan kita, kita hanya bisa menyesali dan memandang foto Ibu sambil menggali kenangan-kenangan kita akan dia. Sungguh saya yang bodoh ini baru bisa merasakan bahwa kasih seorang Ibu adalah sepanjang hayat. Maafkan saya Ibu.

Ibu (oleh : Iwan Fals)

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
lewati rintang untuk aku anakmu

Ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah penuh nanah

Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas Ibu

Ibu

Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu

Lalu do'a do'a baluri sekujur tubuhku
dengan apa membalas, Ibu

Ibu

Comments

  1. duh..jadi inget si mamah...I luv you mom, maapin cantel ya mah...

    Mkasih mang napis, sudah mengingatkan saya yang bodoh ini!

    ReplyDelete
  2. waaaaaa jadi kangen emak, bntr lgi pulang kampung euy, hehehehhe

    ReplyDelete
  3. iya bong, ditengok-tengok dong emaknya..

    ReplyDelete
  4. untung sayah mah tukang neleponan c mamah hehehe...
    jaba teu lami deui bade ngabaturan mamah isuk peuting, semoga mamah akan bahagia dengan keputusan saya ini..... miss u mom... i'll do my best...

    ReplyDelete
  5. mang nafis, abdi mah sok teu tiasa ngobrol lami jeung si mamah teh nya. kunaonnya? sanes teu nyaah, abdi nyaah pisan ka pun biang, I Love You Mom...
    Duuuh ayeuna si Mamah tos sepuh, mudah-mudahan tiasa keneh nungkulan abdi nikah :)Amiiin

    ReplyDelete
  6. setiap melihat mata anak2 saya sekarang, saya selalu ingat tatapan mata Ibu yang penuh kasih sayang, cinta dan pengharapan. sejak menjadi orang tua, tiba-tiba definisi unconditional love menjadi begitu relevan dalam hubungan ibu dan anak. apalagi sejak bapak meninggal, Ibu adalah satu2nya bagian dari benang kebahagiaan dari cerita masa kecil dulu. I love you Mom, there will never be any questions for that.

    ReplyDelete
  7. @ echi : iyah ci..mumpung masih ada ya..

    @ lies : yang penting mah ttp komunikasi..da gak harus lama2 ngobrolnya, yg penting perhatian, iya mudah2an masih bisa ya lies

    @ luna : iya, makanya suka heran juga sama yang gak inget ke ibunya

    ReplyDelete
  8. sabar ya..doakan ibunya byk2 dan ditempatkan di kalangan orang soleh di sisi Allah s.w.t

    ReplyDelete
  9. hatur nuhun mang napis,
    leres pisan..janten sedih yeuh. sayah mah insya Alloh dibiasakeun saminggu sakali nelpon.
    meskipun bahasan eta2x keneh, tapi ngarah adem hate we..

    ReplyDelete
  10. muhun...ulah hilap ka Ibu mah, omat nya...

    ReplyDelete
  11. terima kasih jejaknya di blog saya..
    ikut berduka (walau terlambat)..
    mudah2an saya bisa tetap rajin menghubungi ibu saya sekedar telepon atau malah menyempatkan diri bertemu beliu..

    nice post kang.. atur nuhun :)

    ReplyDelete
  12. @ dhie : makasih, mumpung ibu masih ada ya, ngobrol apa aja sama beliau pasti beliau nya seneng koq..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Romantisme Melayu Siti Nurhaliza, Memaknai Lagu Cindai

Tragedi Dewi Sinta

Toleransi Beragama yang diajarkan Umar Ibn Khattab RA